Tuesday 20 March 2012

Landasan Islami Interaksi Suami Istri

Apa yang Anda inginkan terhadap keluarga Anda? Pasti tidak ada satupun suami atau istri di dunia ini yang menginginkan keluarganya kacau, selalu bermasalah, dan menjadi neraka dunia. Begitupun Anda. Anda pasti menginginkan keluarga yang harmonis, hubungan suami istri yang romantis. Anda pasti menginginkan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah. Rumah tangga menjadi surga dunia, baiti jannati.

Untuk menggapainya, Islam mengajarkan kepada kita untuk membangun kehidupan keluarga dengan landasan interaksi suami istri sebagai berikut:1. Keseimbangan (At-Tawazun)Allah SWT memberlakukan hukum tawazun (kesimbangan) pada ciptaan-Nya. Kita akan mendapati keseimbangan yang luar biasa pada alam ini. Matahari yang jaraknya tepat menghasilkan keseimbangan suhu bumi. Adanya siang dan malam. Bintang-bintang yang menghiasi langit dengan indahnya. Oksigen yang tepat bagi pernafasan manusia. Dan sebagainya.Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? (QS. Al-Mulk : 3)
  Dengan keseimbangan ini kehidupan berjalan dengan baik. Sebaliknya, tatkala keseimbangan ini hilang, yang terjadi adalah kerusakan dan kebinasaan. Seperti ketika manusia merusak keseimbangan alam dan membuat tata lingkungan “baru”. Saat hutan digunduli dan air-air dicemari. Banjir adalah salah satu dampak dari ketidakseimbangan seperti ini.
Begitu pula dalam kehidupan rumah tangga. Islam mengajarkan keseimbangan ini sebagai salah satu prinsip yang harus diterapkan oleh suami istri.
Dan para perempuan memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf… (QS. Al-Baqarah : 228)
Menurut Ath-Thabari, sebagian ulama saat menjelaskan ayat ini mengatakan, “Dan mereka (para istri) mempunyai hak untuk ditemani dengan baik dan dipergauli secara makruf oleh suami mereka. Sebagaimana mereka berkewajiban mentaati suami dalam hal-hal yang telah diwajibkan Allah atas mereka.”

Sedangkan Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar, menafsirkan ayat ini dengan mengatakan, “Dan yang dimaksud dengan keseimbangan di sini bukanlah kesamaan wujud sesuatu dan karakternya; tetapi yang dimaksud adalah bahwa hak-hak antara mereka itu saling mengganti dan melengkapi. Tidak ada suatu pekerjaan yang dilakukan oleh istri untuk suaminya melainkan sang suami juga harus melakukan suatu perbuatan yang seimbang untuknya. Jika tidak seimbang dalam sifatnya, maka hendaklah seimbang dalam jenisnya.”

Sikap seimbang ini harus ada dalam kehidupan berumah tangga. Sebagaimana suami memiliki kewajiban terhadap istri, istri juga memiliki kewajiban terhadap suami. Jika suami ingin istrinya setia, demikian pula istri menginginkan suaminya setia. Jika suami ingin dicintai oleh istrinya, istri juga ingin dicintai sang suami. Jika suami senang istrinya berdandan rapi dan cantik, istri juga senang suami berdandan rapi untuknya. Jika suami senang dilayani istrinya, istri juga senang dilayani suaminya.

Jika masing-masing istri dan suami menerapkan prinsip keseimbangan (tawazun) ini tidak akan ada perasaan terbebani salah satunya melebihi yang lain. Beban dan masalah yang dihadapi keluarga menjadi lebih ringan, dan perasaan cinta semakin bertumbuh melihat pasangan terkasih telah melakukan yang terbaik baginya.
2. Keadilan (Al-Adalah)

Keadilan harus menjadi landasan dalam interaksi suami istri, karena hanya dengan sikap itulah harmoni hubungan bisa dijaga dan dilestarikan. Bahkan lebih dari itu, jika masing-masing suami dan istri dapat bersikap secara adil maka kebersatuan mereka akan menghasilkan sebuah potensi besar yang sangat diperlukan untuk melahirkan generasi penerus berkualitas.

Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-maidah :
8)
Sikap adil yang lebih cenderung pada taqwa itu harus dimiliki suami istri dalam interaksi mereka. Sikap adil harus menghiasi kehidupan rumah tangga, dari hal-hal kecil hingga persolan besar. Adalah tidak adil jika suami mencela makanan yang dibuatkan istrinya, sementara ia sendiri tidak bisa memberi bahan-bahan dan peralatan masak yang cukup. Adalah tidak adil jika suami menuntut istri bersolek layaknya artis sewaktu di hadapannya, sementara suami tidak memberi nafkah yang cukup untuk membeli kosmetik yang diperlukan.

Begitupun, adalah tidak adil jika istri mencela suami karena kesalahan kecil sementara kebaikan suami tidak pernah dipujinya. Adalah tidak adil jika istri tidak pernah berterima kasih kepada suaminya yang bekerja keras sebulan penuh dan menyerahkan gajinya, sementara saat ada hadiah kecil dari teman saja istri tersebut mengucapkan terima kasih berkali-kali dan menyanjung-nyanjungnya.

Sikap adil harus diawali dari pemahaman diri dan penerimaan. Suami/istri harus memahami kewajibannya dulu dan menjalankannya. Tidak diawali dari menuntut haknya. Sikap adil lebih mudah dilakukan suami istri jika ada rapat/suro keluarga. Tentu jangan disamakan dengan rapat di kantor yang formal. Rapat/suro keluarga bisa dilakukan dengan santai sambil minum teh bersama atau acara santai lainnya.

3. Cinta dan Kasih Sayang (Al-Mahabbah war Rahmah)
Cinta dan kasih sayang merupakan hal yang sangat penting dalam interaksi suami istri. Dan kehidupan rumah tangga harus dibangun di atas landasan ini. Meskipun ada perbedaan tentang mahabbah dan rahmah. Bahwa mahabbah adalah cinta di kala suami istri masih usia muda atau usia produktif dan rahmah adalah cinta saat mereka sudah menjadi kakek-kakek dan nenek-nenek. Saat itu tidak ada hubungan suami istri sebagaimana lazimnya saat mereka muda, tetapi kasih sayang tetap membuat mereka bersatu dan saling mengasihi meskipun tidur saling membelakangi.

Dengan cinta dan kasih sayang, seorang suami akan berusaha semaksimal mungkin membahagiakan istrinya. Demikian pula istri akan membahagiakan suaminya. Cinta dan kasih sayang dalam ikatan pernikahan harusnya menjadi cinta paling kuat dan paling kokoh melebihi apapun antara dua orang. Rasulullah SAW bersabda:
Tidak terlihat diantara dua orang yang saling mencintai melebihi pernikahan (HR. Ibnu Majah)

Lalu bagaimana jika pernikahan kita belum juga membuahkan cinta atau cinta di awal pernikahan kini semakin tergerus dan nyaris tiada? Salah satu tips yang bisa dilakukan adalah dengan mencari satu saja kelebihin istri/suami kita yang tidak dimiliki orang lain. Kalau mencari yang sempurna (lebih dalam segala hal), percayalah, kita tidak akan pernah mendapati satupun manusia seperti itu. Cari satu saja kelebihannya dan fokuslah ke sana. Sudah saatnya kita mengabaikan pepatah “rumput tetangga selalu lebih hijau.”
Tips lainnya adalah dengan selalu mengingat kesetiaan dan pengorbanannya. Lihatlah sisi lemah atau kekurangan kita lalu bersyukurlah karena Allah menjadikan pasangan kita menerima apa adanya. Kenanglah saat kita sakit siapa yang melayani dan menunggui kita. Ingatlah saat kita lemah siapa yang menguatkan kita. Saat kita kedinginan, siapa yang menghangatkan jiwa kita. Atau bahkan, pandanglah anak-anak kita, istri yang melahirkan mereka dengan resiko nyawa. Suami yang giat bekerja demi masa depan mereka.
4. Mendahulukan Kewajiban daripada Hak (Taqdiimu Ada-il Wajibaat ‘ala Thalabil Huquuq)
Seringkali problematika rumah tangga bermula dari ego suami/istri. Ia selalu menuntut hak-haknya, tetapi tidak memperhatikan kewajibannya. Ia begitu tahu, secara detail, apa-apa yang menjadi haknya, tapi kurang peduli dengan kewajibannya.
Interaksi suami istri seharusnya dibangun di atas landasan yang benar: mendahulukan kewajiban daripada hak. Karena itulah, buku Kewajiban Istri Kepada Suami harus dibaca istri, bukan ditulis untuk dibaca suami. Sebaliknya, buku Kewajiban Suami kepada Istri harus dibaca oleh suami, bukan ditulis untuk dibaca istri.

Dicontohkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari bagaimana Abu Darda sangat konsen pada ibadah kepada Allah, sampai-sampai ia tidak berdandan, tidak memperhatikan makan dan tidurnya. Saat Salman Al-Farisi bertamu dan mengetahui hal ini, ia mendapat konfirmasi dari istri Abu Darda bahwa memang Abu Darda tidak memiliki hajat pada dunia. Salman kemudian menasehati Abu Darda dengan kalimat yang disetujui Rasulullah: Terhadap tuhanmu ada kewajiban yang harus kau tunaikan, terhadap badanmu ada kewajiban yang harus kau tunaikan, terhadap keluargamu ada kewajiban yang harus kau tunaikan. Maka berikan hak kepada orang yang memiliki haknya.”

Maka… sudahkah kita memenuhi kewajiban kita sebagai suami/sitri kepada pasangan tercinta kita? Atau jangan-jangan kita malah tidak begitu tahu apa-apa kewajiban kita?
 Semoga tidak.

Semoga kita menjadi suami/istri yang baik, yang dengannya kita menempatkan diri pantas mendapati istri kita juga baik. Semoga kita menjadi suami/istri yang adil dan penuh cinta, dengannya kita sesungguhnya menyiapkan untuk pantas dikaruniai Allah nikmat besar: istri/suami kita juga penuh cinta kepada kita.[]

No comments:

Post a Comment