Tuesday 20 March 2012

MEMBENTENGI ANAK DARI NARKOBA

Anak adalah amanah dari Allah , salah satu tugas sebagai orang tua memberikan perlindungan dan kenyamanan pada anak-anaknya. Mengawasi sepak terjang anak-anak kita terutama yg sudah beranjak remaja, memberikan edukasi seputar Narkoba serta akibatnya. Be a smarth women as a mother bekali diri dengan ilmu tentunya, agar kita dapat berperan sebagai sumber referensi yang paling dekat dengan anak-anak kita dalam memberikan pemahaman kepada mereka, agar terhindar dari hal tersebu.
Berikut ada tips praktis yang dapat di aplikasikan oleh orang tua kepada anak-anak di rumah :
* Lakukan penjelasan soal obat. Misal, fungsi obat, kenapa tidak boleh makan obat sembarangan, mengapa obat harus pakai resep dokter dan sebagainya. Mulailah dari hal-hal simpel dan konkret yang mudah dimengerti anak. Sampaikan Informasi mengenai narkoba secara sederhana tapi detai dari jenis narkoba, bentuknya, hingga efek yang bisa menimpa penggunanya
* Tumbuhkan kebiasaan berkomunikasi dan sikap terbuka pada anak. Coba-coba merokok sudah sering ditemui pada anak kelas 4 SD. Agar anak tidak merokok tentunya orangtua pun jangan memberi contoh. Beri anak penjelasan akan bahayanya merokok bagi kesehatan. Bila perlu, beri bukti konkret akan bahayanya (beberapa tayangan dokumenter tentang bahaya sudah banyak dijual dalam bentuk VCD). Arahkan anak agar tidak menggunakan uang sakunya untuk membeli rokok.
* Jangan biasakan anak menerima apa pun dari orang tidak dikenal. Ajari anak untuk tidak bersikap impulsif. Misalnya, apa pun yang ditawarkan temannya, ia terima. Bangun sikap kritisnya dengan meminta anak untuk selalu memerhatikan kemasan makanan, ingridien, dan sebagainya.
* Biarkan anak belajar mengambil keputusan sendiri. Kalau orangtua biasa memutuskan untuknya, ia tidak akan pernah belajar bagaimana membentengi dirinya sendiri.
* Beri anak kegiatan produktif. Saat memasuki usia sekolah sebaiknya sibukkan anak dengan kegiatan produktif meski mungkin orangtua perlu berkorban biaya. Pilih kegiatan di luar akademisnya, seperti kursus musik, atau lukis yang dapat mengasah kehalusan jiwanya. Bantu ia menjadwalkan kegiatannya Usahakan waktunya tidak terbuang dengan hal-hal yang tidak produktif seperti nonton, main games dan sejenisnya. Jika pemikirannya tidak diaktifkan maka energinya tidak terpakai dan anak bisa lari pada merokok atau bahkan narkoba.
* Limpahi anak dengan cinta dan kasih sayang. Anak yang dididik dengan rasa cinta tidak akan mencari cintanya pada hal lain, seperti narkoba. Mendidik anak dengan cinta bukan berarti memberikan semua yang diminta oleh anak. Tapi berilah sesuai kebutuhan dan usianya.
Ery Soekresno, Psi

PERILAKU ANAK YANG WAJAR

• Usia 0-3 tahun
Tahap membangun fondasi moral
Tahap ini merupakan masa penting untuk membentuk kelekatan psikologis antara orangtua dan anak (bonding/attachment). Karenanya, orangtua harus menunjukkan cinta dengan memeluk, mencium, berkata-kata manis, bersikap responsif terhadap kebutuhan anak, memberi stimulasi fisik dan mental lewat bermain, bercerita juga mengajak jalan-jalan.
• Fase 0 (Usia sekitar 4 tahun)
Pada tahap ini anak berfikir secara egosentris, mereka masih menganggap apa yang mereka inginkan itu adalah baik. Mereka akan berbuat baik karena ingin mendapatkan hadiah pujian dan menghindari hukuman.
Ciri khas anak usia ini; egois, cenderung manipulatif dan berbohong, mereka cenderung melanggar aturan dan berkata tidak baik dalam proses mencoba-coba dan mencari identitas diri. Pada fase ini mereka dapat diajarkan tentang moral karena sudah mengerti dan sudah bisa bekerjasama juga menunjukkan kasih sayang sejauh tidak mengganggu kepentingannya.
Cara menghadapi anak fase ini dengan cara berpikiran positif bahwa ini adalah tahap perkembangan normal, lalu beri anak pilihan-pilihan yang membuat mereka bisa mengambil keputusan sendiri. Pada fase ini Anda dapat menerapkan pemberian imbalan dan hukuman. Selanjutnya beri mereka perspektif baru tentang bagaimana mereka seharusnya dengan memberikan aturan-aturan yang jelas, contoh bagaimana berprilaku yang baik, menumbuhkan empati, mengenalkan konsep adil dan melatihnya untuk tahu tentang hak dan kewajiban lewat permainan.
• Fase 1 (Usia 4,5- 6 tahun)
Fase ini mereka patuh tanpa syarat. Bagi mereka baik itu jika mengerjakan sesuatu sesuai perintah. Alasan mereka berbuat baik agar terhindar dari masalah atau hukuman.
Ciri khas anak fase ini; menurut dan bekerjasama, menerima pandangan orang lain namun yang dianggap benar adalah pandangan orang dewasa, bisa menghormati otoritas guru, menganggap orang dewasa banyak tahu, suka mengadu, masih suka melanggar aturan karena belum mengerti alasan peraturan dibuat.
Cara menghadapi anak fase ini; mengontrol secara eksternal, menumbuhkan rasa percaya mereka pada Anda, kemudian beri pandangan baru bagaimana mereka seharusnya dengan memberi alasan-alasan selain karena otoritas, selalu dihadapkan pada pemahaman moral yang baik, mengajarkan apa yang boleh dan tidak dilakukan, jangan berlebihan memakai kekuasaan karena terkadang anak perlu dianggap sebagai orang dewasa.
• Fase 2 (Usia 6,5- 8 tahun)
Pada tahap ini anak mulai berpikir berbuat baik hanya untuk keuntungan pribadi. Mereka menganggap hal baik adalah saya harus mengontrol diri dan berbuat baik kepada mereka yang telah berbuat baik pada saya.
Ciri khas mereka; merasa punya hak seperti orang dewasa, tidak mau lagi diperintah orang dewasa, memiliki konsep keadilan kaku (balas membalas), berprilaku baik agar disenangi, cenderung melanggar perintah, berpotensi bertindak kasar dan tidak berempati, kurang bisa melihat tindakan yang salah dan banyak terlibat perkelahian.
Cara menghadapi anak fase ini; menanamkan arti pentingnya cinta, menekankan nilai agama, membantu mereka melakukan sesuatu dengan ikhlas, ciptakan hubungan mesra, beri contoh prilaku yang baik.
• Fase 3 (Usia 8,5- remaja)
Fase ini anak mulai menyesuaikan diri dengan lingkungan dan bersikap sesuai dengan harapan orang lain. Hal yang mereka anggap baik adalah saya harus menjadi baik dan menyesuaikan dengan harapan orang yang saya kenal dan cintai. Alasan mereka berbuat baik karena ingin orang berpikiran baik tentang mereka (social approval) dan karena pikiran sendiri bahwa mereka baik (penghargaan pada diri).
Ciri khas perkembangan moral pada tahap ini; ingin mendapatkan penghargaan sosial dari oranglain, mengerti konsep ‘golden rules’ (memperlakukan orang lain seperti kamu mengharapkan orang lain memperlakukanmu), mengerti apa yang dibutuhkan orang lain, menerima otoritas orangtua, bertanggung jawab, masih kurang percaya diri dan merasa tidak aman, serta sudah memiliki nurani meski belum mantap karena masih terpengaruh lingkungan luarnya.
Cara untuk menghadapi anak fase ini; memelihara hubungan baik lewat komunikasi dengan mereka, membantu membangun konsep diri mereka yang positif, berdiskusi tentang masalah moral, seimbang dalam memberi kebebasan dengan mengontrol tindakan mereka.
(Diambil dari buku berjudul “Mari kita akhiri kekerasan pada anak yang ditulis oleh Ratna Megawangi, Edi Wiyono dan Herien Puspitawati)
written by hakim , January 26, 2009
anak akan berkembag dengan nilai islam dalam diri jika sejak masih dalam rahim sudah di ajarkan

PENGASUHAN AYAH-IBU YANG PATUT UNTUK PENGEMBANGAN KARAKTER ANAK (I)

Ayah-ibu merupakan figur orang dewasa pertama yang dikenal anak sejak bayi. Selain kedekatan karena faktor biologis, anak biasanya cukup dekat dengan ayah-ibunya karena faktor intensitas waktu yang cukup banyak ia habiskan bersama mereka. Oleh karena itu, ayah-ibu mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan anak, termasuk dalam hal pengembangan karakter. Peran penting ayah-ibu ini memerlukan perencanaan dan tindak lanjut, agar ayah-ibu dapat melakukan pengasuhan yang patut bagi anak. Dalam hal pengembangan karakter, ayah-ibu juga berperan sangat signifikan sehingga ayah-ibu perlu belajar tentang pengasuhan yang mampu mengembangkan karakter yang baik bagi anak-anaknya.
Namun kenyataan tidak semudah teori. Suatu data penelitian menyebutkan bahwa dari 100 % orang tua, yang mampu dan sadar untuk bisa mendidik karakter anak tidak lebih dari 20 atau 30%. Selebihnya tidak memiliki kapasitas untuk mendidik anak (Yaumil dalam Harry, 2002). Banyak kasus kerusakan moral dan perilaku anak yang terjadi disebabkan pengaruh buruk dari pengasuhan ayah/ibu yang tidak patut. Selain itu, tantangan kehidupan modern yang ditandai dengan berbagai fenomena seperti: kedua orang tua (ayah-ibu) yang bekerja, derasnya arus informasi media cetak dan elektronik yang nyaris tanpa saringan, dan terpaparnya anak dengan pornografi; diduga juga berpengaruh signifikan terhadap pengembangan karakter anak. Berbagai tantangan tersebut makin menguatkan akan peran penting pengasuhan yang patut oleh ayah-ibu bagi pengembangan karakter anak. Agar ayah-ibu dapat mengembangkan karakter anak melalui pengasuhan yang patut, perlu disosialisasikan tentang pentingnya pengasuhan yang patut serta berbagai ilustrasi tentang cara ayah-ibu mengasuh anak secara patut. Salah satu bentuk sosialisasi tersebut adalah melalui seminar, pelatihan, atau penyebarluasan media edukatif untuk ayah-ibu.
PERAN AYAH IBU BAGI PENGEMBANGAN KARAKTER ANAK
Pengembangan karakter anak merupakan upaya yang perlu melibatkan semua pihak, baik keluarga inti, keluarga batih (kakek-nenek), sekolah, masyarakat, maupun pemerintah. Jika antar berbagai unsur lingkungan pendidikan tersebut tidak harmonis maka pembentukan karakter pada anak tidak akan berhasil dengan baik. Pada keluarga inti, peranan utama pendidikan terletak pada ayah-ibu. Philips (dalam Nurokhim, www.tnial.mil.id) menyarankan bahwa keluarga hendaknya menjadi sekolah untuk kasih sayang (school of love), atau tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang.
Keluarga yang sehat dicirikan dengan keterlibatan ayah-ibu yang hangat dalam mengasuh dan mendidik anak, sehingga anak akan memiliki figur ayah-ibu yang seimbang serta memiliki hubungan emosional yang lebih kuat dengan ayah-ibunya. Jika ayah-ibu sering bertemu dan berdialog dengan anak, anak akan menghormati ayah-ibunya. Semakin besar dukungan ayah-ibu terhadap anak, semakin tinggi perilaku positif anak (www.bkkbn.go.id).
oleh : Mukti Amini
(dari berbagai sumber)
Selengkapnya bisa dibaca di buku Character Building, Tiara Wacana, Yogyakarta

Mendongeng Untuk Membangun Karakter Anak

Pernahkah Anda melihat mata anak Anda membulat penasaran mendengar cerita Anda? Jika pernah, atau bahkan sering, berarti Anda giat memperkokoh karakternya. Jika belum, tidak ada kata terlambat untuk mulai mendongeng.
Ketika televisi belum banyak dimiliki orang, hiburan anak-anak kala itu –selain bermain, tentunya—adalah mendengarkan cerita dari para orang tua di sekitar mereka, entah ayah, ibu, kakek, nenek, atau yang lainnya. Dalam suasana hangat, anak-anak dengan penuh minat dan rasa ingin tahu mendengarkan berbagai cerita yang dibawakan orang-orang tua mereka.
Suasana seperti itu kini jarang sekali kita lihat. Cerita dan dongeng yang disampaikan orangtua berganti dengan tayangan film-film di televisi. Anak-anak terpaku di depan layar televisi, sementara orangtua mengerjakan kegiatan lainnya.
Islam, kaya kisah teladan
Arti ‘dongeng’ sendiri adalah cerita fiktif atau rekaan belaka. Ditambahkan Eka Wardhana, penulis buku anak, bahwa dalam dongeng ada unsur keindahan, kehangatan, juga imajinasi. “Jadi kalau cerita fiktifnya itu seram, horor, penuh kekerasan, menurut saya itu bukan dongeng,” jelas Eka. Dalam dongeng semua makhluk khayalan bisa tercipta, seperti pohon dan binatang yang bisa bicara.
Sementara, untuk sejarah yang berisi cerita kepahlawanan dan teladan kebaikan bisa masuk dalam kategori kisah. Namun, menurutnya pengistilahan ini tidak terlalu penting. Baginya yang terpenting adalah kegiatan bercerita itu sendiri, yaitu bagaimana nilai-nilai kebaikan disampaikan kepada anak melalui cara bercerita yang menarik.
Soal keefektifan cerita dalam membentuk karakter anak tak diragukan lagi –bahkan mampu membangun karakter bangsa—kata Eka,. Berdasarkan sebuah sumber, Eka menyebut betapa lebih majunya Inggris dibanding Spanyol pada masa kolonialisme akibat dongeng dan kisah-kisah kepahlawanan yang sering diceritakan orangtua pada anak-anaknya. Tak heran negara jajahan Inggris di berbagai belahan dunia, dari Asia sampai Afrika, lebih banyak daripada Spanyol.
Bila saja kebiasaan bercerita ini dilakukan masyarakat Muslim dengan tak lupa mengambil kisah-kisah kepahlawanan Rasulullah saw dan para sahabatnya, sangat mungkin masa kejayaan Islam akan cepat kembali. Betapa lengkap teladan kebaikan yang ada dalam kisah Rasul dan para sahabatnya. “Berbagai karakter ada di situ. Ada kisah tentang jiwa ksatria, jiwa pengusaha. Banyak contohnya dan itu nyata, bukan dongeng! Sementara kalau cerita dari orang Barat itu kan kebanyakan dongeng,” kata lulusan Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung ini. Apalagi bila masyarakat Muslim lebih memperkaya jenis dongeng dengan tetap berpijak kepada ajaran Islam, maka semakin banyak alternatif cerita yang bisa dikembangkan dan diceritakan kepada anak-anak kita.
Dalam Al-Quran kisah-kisah teladan pun bertebaran. Bahkan sebagian besar isi Al-Quran berupa kisah. Kisah kepahlawanan dan kisah penuh motivasi lainnya, tak kurang-kurangnya diurai dalam Al-Quran, Hadits dan sumber lainnya. Namun, herannya entah kenapa generasi Muslim tetap saja melempem. “Mungkin karena orang Islam telah mengabaikan kisah-kisah ini,” imbuh Direktur Studio Rumah Pensil ini prihatin. Tak banyak orangtua yang menceritakan kisah-kisah itu pada anak-anaknya.Yang masuk ke rumah-rumah keluarga Muslim bukan lagi kisah teladan dalam Islam, tapi kisah-kisah rekaan yang tak jelas, semacam Naruto dan sebagainya.
Mengapa mendongeng kurang diminati? Mungkin sebagaimana pola pendidikan lainnya, ia tidak menunjukkan hasil yang instan. Padahal dongeng atau cerita-cerita teladan banyak masuk ke alam bawah sadar, di mana alam bawah sadar inilah yang kemudian paling berperan membentuk karakter atau akhlak seorang anak. “Jadi kalau dongeng itu diceritakan terus menerus, maka yang masuk ke alam bawah sadarnya semakin banyak. Nah, kalau ceritanya yang baik-baik, maka yang masuk ke alam bawah sadarnya tentu yang baik-baik pula. Kalau yang diceritakan orangtua kisah-kisah kepahlawanan, kebaikan, persahabatan, maka akan seperti itulah sifat anak nantinya,” jelas Eka. Bayangkan saja kalau yang masuk ke alam bawah sadar anak justru cerita dan materi yang penuh kekerasan dan vulgar, maka akhlak atau karakter anak seperti apa yang akan tercipta kemudian?
Menjalin kedekatan antara orangtua dan anak

Saat mendongeng atau bercerita selain terjadi transfer nilai, terjalin juga kedekatan antara orangtua dan anak. Ketika mendengar dongeng atau cerita lainnya dari orangtua, anak-anak akan semakin merasa dekat dan terikat dengan orangtuanya. “Saat mendengarkan dongeng, anak-anak akan terikat dengan tokoh dalam cerita dan orang yang bercerita (dalam hal ini orangtua–red). Ikatan emosionalnya itu kuat. Kalau dengan televisi, mereka tidak akan terikat sedemikian kuat,” papar ayah 4 anak ini.
Bagi anak, kedekatan ini dapat mengalahkan kegiatan lainnya. Menurut Eka, dengan amat mudah anak-anak akan berpaling dari televisi, game, dan sebagainya demi mendengarkan orangtuanya bercerita. Apalagi bila selama bercerita orangtua juga menyentuh dan memeluk anak, membelai rambutnya, kehangatan dan kasih sayang tentu akan mengalir. Sentuhan ini selain menambah kedekatan juga akan membuat anak bertambah cerdas. “Setiap kali dipeluk, anak akan merasa bahagia. Nah, perasaan bahagia ini akan membuat anak mudah menyerap informasi dan membuat neuron (sel-sel syaraf dan percabangannya–red) anak bersambung terus menerus. Makanya sering dikatakan kalau anak dipeluk, dia akan bertambah cerdas karena koneksi neuronnya bertambah banyak,” terang pria kelahiran Jakarta, 38 tahun silam ini.
Selama orangtua bercerita, acap kali anak bertanya ini itu. Entah bertanya tentang tokoh, kejadian dalam cerita, dan sebagainya. Ini mengindikasikan telah terjadi komunikasi yang baik antara anak dan orangtua. Bila selama ini hal itu mungkin belum tercipta, dengan mendongeng dan ‘sesi’ tanya jawab di dalamnya akan melancarkan saluran komunikasi yang tersumbat.
Kegiatan mendongeng ini pun bisa mengembangkan imajinasi anak. Eka mencontohkan, ketika orangtua memulai cerita dengan kalimat, “Dulu, ada seorang raksasa…,” maka segera saja daya imajinasi anak bekerja dan membayangkan sosok raksasa tersebut. Selama orangtua bercerita, imajinasi anak terus berlarian mengikuti jalan cerita. Pengembangan daya imajinasi ini penting sebagai dasar mengembangkan kreativitas anak, dan ini bisa didapat dari kegiatan mendongeng.
Eka lalu menuturkan bahwa kegiatan mendongeng pun akan mendorong anak untuk gemar membaca. “Anak yang sering didongengkan waktu kecil, hampir pasti akan senang membaca,” katanya. Setelah mendengar dongeng, anak-anak akan punya keinginan untuk membaca sendiri kisah tersebut dari buku-buku. Sekali dia merasakan keasyikan membaca, mereka akan terus senang membaca.
Kegemaran membaca ini tentu saja penting untuk membuka dan mengembangkan ilmu dan wawasan anak-anak pada berbagai hal. “Tidak ada orang besar di dunia ini yang tidak senang membaca,” imbuh Eka seraya menambahkan ‘membaca’ di sini tak terbatas pada membaca buku, tapi juga ‘membaca’ alam dan lingkungan sekitar.
Sebentar, tetapi sering

Banyak orangtua dan guru yang tidak membiasakan mendongeng karena merasa tak bisa bercerita, apalagi bila mereka harus bercerita dengan gaya yang menarik. Untuk mengatasi kendala ini, Eka menyarankan agar, pertama, orangtua harus mulai ‘belajar’ bicara kepada anak dengan lebih hangat. “Berikan lebih banyak pujian ketimbang kritikan. Kalau anak diperlakukan dengan hangat, dia akan menjadi orang yang hangat. Sementara kalau anak diperlakukan dengan keras, mereka akan jadi keras,” kata Eka. Bicara dengan kehangatan ini akan membuat kedekatan dan keakraban hingga kemudian dalam kondisi itu orangtua akan mudah menceritakan apa saja pada anak, termasuk mendongeng. Anak-anak pun akan terbuka kepada orangtuanya.
Kedua, agar orangtua bisa bercerita tentu saja orangtua harus banyak membaca buku. Apalagi biasanya buku cerita anak-anak itu tidak terlalu tebal, jadi tidak menghabiskan waktu orangtua untuk membaca dan menceritakannya kembali kepada anak-anak. Untuk memulai, orangtua memang bisa mengambil cerita dari buku, selanjutnya apa saja yang terjadi di sekitar kita bisa menjadi cerita. Semua kejadian bisa diceritakan secara menarik, terutama bila orangtua telah terbiasa bercerita.
Sekali bercerita, tak perlu terlalu lama. Sekitar 15 menit sampai 20 menit, cukuplah, karena untuk usia tertentu, misalnya usia balita, perhatian anak-anak cepat teralihkan kepada hal lainnya. Tapi untuk usia yang lebih besar, bisa jadi waktu bercerita bisa sampai 1 jam atau lebih, apalagi bila ceritanya menarik. Menurut Eka, yang terpenting bukanlah lamanya waktu bercerita. “Yang penting adalah kualitas dan kuantitasnya. Walau cuma beberapa menit, tapi dilakukan setiap hari, akan lebih efektif dibanding satu atau dua jam tetapi dilakukan hanya sekali sebulan,” urai Eka.
Saat yang tepat untuk bercerita pun tak mesti menjelang tidur sebagaimana yang selama ini kita pahami sebagai waktu mendongeng. “Kalau anak mau tidur malam biasanya banyak sekali hambatannya, entah sudah sangat mengantuk, ada PR yang belum selesai, orangtua yang capek karena baru pulang dan sebagainya,” kata Eka. Maka untuk mendongeng, tak perlu menunggu waktu tidur. Bercerita atau mendongenglah kapan pun selagi sempat.

Jadi, melihat berbagai keutamaan mendongeng bagi perkembangan anak, semestinya orangtua dan guru mulai membiasakan diri untuk mendongeng kapan saja. Jangan mau dikalahkan televisi atau bermacam bentuk game, karena pada dasarnya anak lebih suka berdekatan dan mendengarkan cerita dari orangtuanya sendiri.
(Asmawati/wawancara Didi Muardi)
Sumber http://www.ummi-online.com

Mengapa Anak-anak Senang Dibacakan Buku Berulang-ulang ?

Memenuhi keinginan anak untuk mengulang dibacakan buku cerita yang sama menjadi kewajiban orangtua. Bahkan, menuruti saran ahli, sebelum menginjak usia dua tahun, pengulangan bacaan beberapa buku saja lebih baik daripada koleksi bacaan yang banyak tetapi jarang dibacakan. Jadi, tahanlah rasa bosan Anda jika anak minta dibacakan buku yang sama berulang-ulang!
Saat  membereskan barang-barang lama, saya menemukan buku cerita anak-anak saya saat masih kecil dulu. Satu buku yang segera menarik perhatian saya adalah buku berjudul Wola. Buku itu membuat saya menghentikan aksi beres-beres saya sejenak. Sambil tersenyum-senyum, saya membaca ulang Wola.Wola adalah nama anjing milik Pak Kalabani, seorang pemilik toko kelontong. Anjing berbadan besar ini sesungguhnya anjing penakut. Ia takut terhadap anjing-anjing lain, laba-laba, tikus, dan bahkan sapu Bu Kalabani. Namun suatu saat, Wola menjadi pahlawan karena berhasil menangkap pencuri yang masuk ke toko Pak Kalabani.
Saat anak-anak saya masih kecil, Wola amat populer di keluarga kami. Penyebabnya, Wola adalah buku yang amat sering diminta mereka untuk dibacakan. Saking seringnya Wola dibacakan, buku ini koyak. Syukur, saya mempunyai cadangan dua Wola lainnya, hasil berburu di pasar buku loak. Sampai sekarang, satu buku Wola masih tersimpan dalam keadaan bagus.
Ada masa sekitar tiga-empat tahun anak-anak nge-fans dengan Wola. Mula-mula, penggemar Wola adalah si sulung. Lalu kegemaran sang kakak menular ke adiknya. Ketika itu, setiap kali mereka meminta dibacakan Wola, saya menghela napas. Bosaaaaannnn….
Saya ingat, saya sering membujuk mereka untuk memilih buku cerita lain, tetapi biasanya, jika sedari awal sudah memilih Wola, mereka tak mau beralih ke buku lain. Maka,  terpaksalah saya membacakan Wola dengan segala daya-upaya, berusaha membaca dengan rasa antusias seolah-olah baru kali pertama itu saya membacakan cerita tersebut!
Saya rasa, banyak orangtua lain punya pengalaman yang sama dengan saya. Anak punya buku cerita favorit yang minta dibacakan ratusan kali, tak peduli betapa bosannya ayah atau ibu membacakan buku itu. Bahkan mungkin, saking seringnya dibaca, orangtua hafal kalimat per kalimat dalam buku itu! Dan selama membaca buku yang sudah puluhan atau lebih dari seratus kali dibaca itu, orangtua harus menahan rasa bosannya entah bagaimana caranya!
Dulu, saat anak-anak meminta dibacakan buku yang “itu lagi-itu lagi”, saya sempat merasa bahwa tindakan membaca buku yang diulang-ulang itu mubazir, sementara ada puluhan buku lainnya yang belum dibaca. Namun setelah belasan kali membacakan buku favorit mereka, saya segera menyadari, ada sesuatu yang selalu dipelajari anak-anak saat saya membacakan buku yang telah berulang-ulang mereka dengar itu.

Manfaat Membaca Buku Berulang-ulang

Ternyata, selalu ada yang baru yang mereka komentari, mereka tunjuk, atau mereka tanyakan setiap kali saya membaca Wola! Jadi, dari buku yang sama, setiap kali, anak-anak dapat belajar sesuatu.
Menurut para ahli, membacakan buku yang diulang-ulang adalah kebutuhan bagi anak untuk bisa belajar. Kondisi ini sama seperti kita yang pernah menonton satu film lebih dari sekali dan menyadari berapa banyak detail yang lolos dari pengamatan kita saat menontonnya di kali pertama. Begitulah yang terjadi pada anak-anak dengan buku.
Menurut Jim Trelease, ahli yang menganjurkan anak-anak untuk dibacakan cerita sejak dini, anak-anak terbantu untuk mengurangi kasalahpahaman yang mungkin timbul dari cerita yang dibacakan dengan cara cerita itu dibacakan berulangkali. Kesalahpahaman ini mungkin terjadi karena anak mempelajari bahasa kompleks sesuai laju orang dewasa.
Dengan dibacakan buku yang sama berulang-ulang, menurut Trelease, anak-anak dapat diantar pada sebuah prestasi tersendiri.
Pertama, dia akan belajar bahasa dengan cara mendengarkannya secara berulang-ulang—istilahnya immersion (pendalaman). Mendengarkan cerita yang sama berulang kali adalah bagian dari proses pendalaman itu.
Kedua, dari cerita yang berulang itu bisa lahir banyak papan loncatan memasuki diskusi dengan anak. Dari satu cerita itu orangtua bisa membicarakan hal-hal lain dengan anak dengan mengaitkannya pada berbagai hal yang bermanfaat bagi pengalaman hidupnya. Tiap kali cerita dibacakan, pasti ada hal berbeda yang dijadikan papan loncatan. Hal ini bisa muncul dari gagasan orangtua untuk menekankan hal tertentu, atau bisa saja lahir dari komentar atau pertanyaan anak.
Mengingat kembali kasus anak-anak saya dengan Wola-nya, dua hal ini tecermin dari banyaknya hal baru yang muncul setiap kali Wola dibacakan. Suatu kali, anak-anak bisa berkomentar tentang Wola yang penakut, kali lain mereka bertanya tentang pencuri. Saat dibacakan lagi, mereka berkomentar tentang polisi yang menangkap pencuri (karena di buku cerita itu ada kisah polisi yang datang menangkap pencuri). Pada kesempatan lain, anak-anak mengungkapkan bahwa mereka juga punya boneka kesayangan seperti Wola (karena Wola memiliki boneka kesayangan dari kain perca) dan mereka juga ingin memelihara hewan.
Dari satu buku cerita yang tampak sederhana saja seperti Wola, anak-anak saya bisa belajar tentang hewan, tentang sifat penakut, tentang pencuri, tentang sifat pahlawan, tentang toko kelontong, tentang polisi, tentang kecintaan pada mainan, dan macam-macam lagi!
Saat berulang kali membaca buku yang sama, betapa pun bosannya saya, anak-anak saya bukan hanya makin lama masuk dalam proses pendalaman, tetapi juga makin memiliki kemampuan untuk mengaitkan cerita yang mereka pahami dengan diri mereka, pengalaman mereka, dan lingkungan mereka. Jadi, sungguh tak terkira apa yang mereka pelajari itu!

Tahan Rasa Bosan Anda

Memenuhi keinginan anak untuk mengulang dibacakan buku cerita yang sama menjadi kewajiban orangtua. Bahkan, menuruti saran ahli, sebelum menginjak usia dua tahun, pengulangan bacaan beberapa buku saja lebih baik daripada koleksi bacaan yang banyak tetapi jarang dibacakan. Jadi, tahanlah rasa bosan Anda jika anak minta dibacakan buku yang sama berulang-ulang! Biarkan mereka mengulang-ngulang buku cerita favorit mereka. Tak apa mereka membaca buku yang “itu lagi-itu lagi”.
Selain manfaatnya yang luar biasa bagi anak, jangan lupa bahwa dengan sering membacakan buku cerita favorit anak, para orangtua sesungguhnya sedang merenda kenangan yang indah bagi anak-anaknya. Dan kenangan itu akan selalu diingat anak sampai ia dewasa kelak.
oleh Nina Mutmainnah Armando
Sumber ummi-online.com

Ungkapan Kasih Sayang Pada Anak

Pemberian kasih sayang amatlah penting bagi perkembangan anak. Rasa kasih sayang yang dicurahkan oleh orang-orang di sekeliling anak merupakan dasar pembentukan watak si anak kelak. Ungkapan kasih sayang secara verbal bukanlah hal yang boleh diremehkan. 

Namun bukan hal yang mustahil bila orang tua tidak terbiasa mengungkapkan rasa kasih sayangnya. Rasulullah SAW sebagai qudwah kita yang utama amat lembut terhadap anak-anak. Adalah Rasulullah SAW adalah  manusia yang paling sayang terhadap anak-anak dan keluarga. (HR.Ibnu Asakir)


Ungkapan verbal

Bisa saja seorang anak tidak menyadari limpahan kasih sayang kedua orangtuanya karena hal ini tidak pernah dikatakan secara terus terang. Sebagai contoh bisa kita simak kasus berikut ini:

Seorang anak yang sembrono menyebrangi jalan raya bersama ibunya. Karena khawatir si Ibu berusaha menggandeng anaknya, namun demikian si anak terus meronta dan ingin cepat-cepat sampai di seberang jalan. Kemudian terjadilah apa yang dikhawatirkan si Ibu. Sebuah mobil dari arah kanan datang dengan tiba-tiba hampir saja menabrak si anak. Tentu saja perasaan yang paling dominan pada si Ibu adalah perasaan bersyukur dan bahagia melihat anaknya tidak cedera sedikitpun. 

Namun demikian bukanlah ungkapan bahagia yang terlontar, sebaliknya si Ibu memarahi anaknya. Kemarahan Ibu dapat membekas dalam di hati anak apalagi bila disangkutkan dengan momen yang mengejutkan seperti itu. Tidak mustahil bila si anak akhirnya mempunyai image yang buruk terhadap sang ibu, “Oh, Ibuku ternyata galak ya !”, padahal si Ibu sayang terhadap anaknya.
Bukankah lebih baik bila si Ibu mengatakan, “Nak… Ibu sangat bahagia ternyata engkau tidak cedera sedikitpun, makanya Ibu dari tadi mengkhawatirkanmu, tapi kamu tidak mau Ibu gandeng.” Dengan ungkapan seperti ini si anak akan sadar betapa ibunya sayang terhadapnya. Dengan demikian jalinan kasih sayang anak dan Ibu semakin erat dan si anak akan segera menyadari kesalahannya.

Rasulullah SAW mencontohkan kita untuk mengungkapkan rasa kasih sayang secara terus terang.
Suatu ketika Abdullah bin Sarjas ra. berkata kepada Rasulullah:
“Aku mencintai Abu Dzar”.
“Apa sudah kau kabarkan kepadanya ?”, tanya Rasulullah.
“Belum”.
Lalu Rasulullah memerintahkan agar ia memberitahukan kecintaannya itu kepada Abu Dzar.
“Wahai Abu Dzar, aku mencintaimu karena Allah,” ucap Abdullah.
“Semoga Allah mencintaimu, yang engkau cintai aku karenanya,” balas Abu Dzar.
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah akan memberi pahala bagi siapa yang mengatakan perkataan itu.”

Mencium anak
Ciuman sebagai ungkapan kasih sayang merupakan sunah Rasulullah Saw. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari ‘Aisyah ra.”Telah datang beberapa orang dari dusun kepada Rasulullah SAW., mereka berkata: ” Apakah kalian menciumi anak-anak kecil kalian?” Rasul menjawab: „Ya.” Mereka berkata lagi: “Namun kami, demi Allah tidak pernah mencium.” Rasul menjawab: “Apa daya diriku, jika Allah mencabut rasa kasih sayang dari hati kalian.”

Dari Abu Hurairah ra. berkata: “Nabi SAW. mencium al-Hasan bin Ali. Maka berkata al-’Aqra’ bin Habis: “Sesungguhnya aku memiliki sepuluh anak, tak seorang pun di antara mereka yang aku cium”. Maka Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang tidak mengasihsayangi, ia tidak akan dikasihsayangi.” ( HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis-hadis di atas dengan jelas mengajarkan kepada kita bahwa ciuman memiliki peranan penting dalam membangkitkan perasaan dan emosi anak, bahkan selain itu mampu meredakan perasaan amarahnya, dan menambah eratnya hubungan dan cinta dengan orang tuanya. Bagi anak, hal ini adalah suatu bukti rasa kasih sayang kedua orang tuanya. Seorang ibu atau bapak yang mencium anaknya membuktikan adanya perhatian terhadap anaknya. Janganlah segan-segan mengantarkan anak kita dengan ciuman manis di kening sebelum tidurnya. Hal ini akan menentramkannya ketika akan tidur.

Bercanda dan bermain dengan anak-anak kecil

Dari Jabir ra. berkata:”Pernah kami bersama Rasulullah saw. kemudian kami diundang makan bersama. Tiba-tiba kami melihat Husain bermain di jalan bersama anak-anak kecil lain. Bersegeralah Nabi berada di depan sahabat-sahabatnya, kemudian beliau membentangkan tangannya, maka ia lari ke sana-kemari sehingga Rasulullah membuatnya tertawa, kemudian membawanya. Kemudian Rasul meletakkan salah satu tangannya di dagunya dan yang laindiletakkan di antara kepala dan kedua telinganya, dan Rasulullah pun merangkul dan menciumnya seraya bersabda: “Hasan dariku dan aku darinya, Allah akan mencintai orang yang dicintai oleh Hasan dan Husain, dua cucu dari cucunya. (HR. Bukhari dan Tirmidzi serta Hakim).

Meluangkan waktu bermain dan bercanda dengan anak adalah satu hal yang amat penting. Dengan demikian jalinan keakraban antara anak dan orang tua akan terjalin erat.

Suatu hal yang amat disayangkan apabila kita membiarkan anak kita bermain dengan teman-teman sebayanya tapi ternyata kita tidak dapat meluangkan waktu untuk bermain bersamanya. Maka jadilah si anak akrab dengan teman-teman lingkungannya. Padahal belum tentu lingkungannya itu islami.

Bagaimana kita dapat menanamkan nilai-nilai islami apabila kita tidak dapat akrab dengan anak-anak kita sendiri. Tugas bermain dan bercanda dengan anak bukan saja terletak pada pundak ibu, bahkan seorang ayah pun patut meluangkan waktunya untuk bermain dengan anak-anak.

Umar bin Khattab pernah berkata: “Seharusnya seorang ayah di tengah-tengah keluarganya berlaku kekanak-kanakkan, namun kalau dilihat dirinya sesungguhnya , maka ia adalah laki-laki yang ksatria. Demikianlah Akhlaq mulia Rasulullah saw. terhadap anak-anak yang patut kita contoh. Anak-anak adalah harapan kita, pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak amat tergantung pada rasa kasih sayang yang dicurahkan oleh orang-orang di sekelilingnya. 

Dalam hal ini yang paling berperan penting adalah kita sebagai orangtuanya, tempat kembali bagi anak untuk merasakan dekapan hangatnya rasa kasih sayang.
Disadur dari: Ishlah no.13Th II,1994/1415

Agar Anak Tidak Malas Belajar

Berbagai upaya sudah dilakukan agar anak semangat belajar. Tapi, hasilnya justru sebaliknya. Seringkali penyebabnya muncul dari orangtua. 

Memahami anak sebagai individu yang sedang menjalani tahapan-tahapan dalam masa pertumbuhannya, diperlukan kesabaran ekstra. Demikian pula ketika mendapati anak yang telah memasuki usia sekolah begitu malas belajar. Mengandalkan guru untuk menyelesaikan masalah? Tentu tak bisa begitu.

Apalagi bila kita menyadari bahwa anak sesungguhnya memulai pendidikannya dari rumah. Sehingga, peran orangtua untuk membantu secara langsung kesulitan yang dialami anak merupakan hal yang sangat penting. Mencari penyebabnya adalah langkah awal untuk menerapkan solusi yang tepat.

Robert D. Carpenter MD adalah seorang peneliti yang pernah mengadakan pengamatan terhadap perkembangan belajar murid sekolah dasar di California, Amerika Serikat. Dalam pengamatannya ditemukan adanya penyebab mengapa anak-anak kerap mengalami masalah dalam belajar yang cenderung membuat mereka jadi malas. Berikut ini empat penyebab yang kerap terjadi dan menyebabkan anak malas belajar.

1. Komunikasi tidak efektif
Ingat, target kita berkomunikasi adalah memastikan bahwa ‘pesan’ yang ingin kita sampaikan kepada penerima pesan (anak) diterima dengan benar. Tentu orangtua ingin agar anak mengerti, menyukai dan melakukan apa-apa yang dipikirkan orangtua. Komunikasi yang efektif juga bisa mengungkapkan kehangatan dan kasih sayang orangtua, misalnya, “Ayah bangga sekali, kamu sudah berusaha keras belajar di semester ini.”

Coba ingat-ingat bagaimana pola komunikasi yang kita bangun selama ini. Sudahkah anak-anak menangkap pesan yang kita sampaikan sesuai dengan yang kita maksud?
Seringkali orangtua lupa menyampaikan ‘isi’ dari pesannya, tapi lebih banyak merembet pada hal-hal yang sebenarnya di luar maksud utamanya. Misal, nilai ulangan harian anak di bawah rata-rata teman sekelasnya.

 Tanpa bertanya terlebih dulu kepada anak kenapa nilainya jelek, Ibu langsung komentar, “Itulah akibatnya kalau kamu nggak nurut Ibu. Main melulu sih. Ibu tuh dulu waktu sekolah nggak pernah dapat nilai 6. Kamu kok nilainya jelek begini. Gimana sih?” Apa inti pesan yang disampaikan Ibu? Anak salah karena nilainya jelek dan semakin salah karena Ibu selalu membandingkan anak dengan keadaan Ibunya sewaktu sekolah. Akibatnya, anak akan berpendapat, “Ah, nggak ada gunanya bilang ke Ibu kalau nilai jelek. Nanti pasti dimarahin.”

Padahal, mengetahui nilai anak yang di bawah rata-rata buat orangtua sangat penting untuk mengevaluasi penyebabnya. “Wah, nilai anak saya untuk mata pelajaran matematika kenapa selalu jelek ya? Apa yang perlu dibantu?” Sederet pertanyaan itu bisa terjawab bila kita berkomunikasi secara efektif, bukan menyalah-nyalahkan anak. Bila penyebab bisa segera diketahui, maka orangtua bisa mencari solusinya dan melakukan perbaikan.

Komunikasi yang tidak efektif yang berjalan selama bertahun-tahun, pastinya akan berdampak negatif pada pembentukan karakter anak. Padahal, salah satu fungsi komunikasi adalah untuk mengenal diri sendiri dan orang lain. Bisa dipastikan pola seperti itu akan membuat anak bingung dalam mengenali dirinya sendiri dan orangtuanya. ‘Apa sih sebenarnya maunya Ayah/Ibu?’ Kebingungan ini mengakibatkan dalam diri anak tidak tumbuh motivasi kuat untuk berprestasi, toh mereka tak tahu apa gunanya mereka belajar.

2. Tak terbantahkan
‘Pokoknya kamu harus ranking satu. Dulu, ayah sekolah jalan kaki, tapi selalu ranking satu. Kenapa kamu nggak bisa?’ Menekankan dengan kalimat, ‘pokoknya’, ‘seharusnya’, dan kata sejenis lainnya menunjukkan tidak adanya celah untuk pilihan lain.

Orangtua yang tak terbantahkan membuat anak sulit mengemukakan pendapatnya. Bahkan, sulit mengetahui potensi dirinya sendiri, apalagi mengoptimalkan potensinya.

 Kecenderungan tak terbantahkan ini kalau berlanjut terus bisa menjurus pada upaya memaksakan kehendak orangtua pada anak. Misalnya, “Nanti kamu harus jadi dokter.” Kalaupun akhirnya anak mengikuti kehendak orangtuanya kuliah di fakultas kedokteran, ia akan menjalaninya dengan setengah hati. Bisa jadi, hanya setahun dijalani, selanjutnya keluar karena bertentangan dengan keinginannya. Tentu kita tak ingin ini terjadi bukan?

3. Target tidak pas
Target yang tidak pas, bisa terlalu rendah atau terlalu tinggi dari kemampuannya. Jangan sampai memaksakan begitu banyak kegiatan pada seorang anak sehingga mereka jadi jenuh dan terlalu lelah. Akibat overaktivitas, banyak anak yang kemudian mulai meninggalkan belajar sebagai kegiatan yang seharusnya paling utama.

Di sinilah peranan orangtua sangat penting, jangan sampai terlalu memaksa anak dengan harapan agar mereka dapat menuai prestasi sebanyak-banyaknya. Mereka didaftarkan pada berbagai macam kursus atau les privat tanpa mengetahui bahwa batas IQ seorang anak tidak memungkinkannya menerima berbagai macam kegiatan yang disodorkan oleh orangtua.

Namun, sebaliknya bagi anak yang memiliki IQ tinggi, juga perlu penanganan khusus, karena mereka tidak cukup dengan target regular untuk anak lainnya. Mereka membutuhkan tantangan lebih supaya potensinya teroptimalkan. Untuk mengetahui potensi ini, orangtua perlu bantuan psikolog.

4. Aturan dan hukuman yang tidak mendidik
Terlalu ketat dalam rutinitas harian bisa menyebabkan akhirnya anak malas belajar. Namun, sebaliknya tanpa membuat rutinitas harian anak tidak terbiasa memiliki jadwal belajar yang harus dipatuhinya. Jalan tengahnya, rutinitas tidak bisa ditetapkan secara sepihak oleh orangtua, namun dibangun bersama-sama.

Membuat aturan juga harus diikuti dengan konsekuensi. Jadi, anak dapat mengerti apa hubungannya antara kepatuhan menjalani aturan dengan konsekuensinya, bukan sekadar hukuman yang tidak mendidik, seperti hukuman cubitan bila dapat nilai jelek

Bagi anak usia SD ke atas, orangtua perlu mendiskusikannya dengan anak. Aturan tersebut ditandatangani dan dipasang di dekat meja belajar. Misal, 1) Belajar sehabis shalat Maghrib sampai Isya; 2) Boleh nonton Avatar pada minggu pagi; 3) Main PS paling lama 2 jam di hari libur; 4) dan seterusnya.

Jangan bosan juga untuk meng-up date kesepakatan dan mengingatkan kalau ada yang melanggar. Ingatkan juga akan konsekwensinya, misalnya “Belajar yuk! Kemarin kita sepakat kan kalau nggak belajar, gimana hayo?”

Biarkan anak menjawab konsekwensinya. Jika aturan itu sudah dibuat bersama, pasti anak ingat akan konsekwensinya. Harapannya, kesadaran untuk belajar akan tumbuh dari dalam diri anak, bukan dipaksakan orangtua. Tidak ada lagi hukuman yang tidak mendidik, karena hukuman akan membuat anak berpikir “Ugh, belajar sangat tidak menyenangkan!”

Mewaspadai empat hal tersebut penting untuk mencegah kemalasan anak semakin parah. Yuk, bantu anak-anak kita agar rajin dan senang belajar.
(Sarah Handayani/ummi online)

Ayah Pelukis Masa Depan Anak

Ayah adalah pelukis kehidupan anaknya, dan akan menjadi bagian penoreh sejarah kehidupannya. Bahkan keberhasilan anak yang menoreh sejarah yang hebat, akan melibatkan peran ayah sebagai guru bagi anaknya. Setiap gores pena kehidupan seorang ayah akan menampilkan bentuk kehidupan yang akan dimiliki oleh anaknya kelak.

Masa muda bagi anak adalah masa yang menyenangkan, masa mereka melihat hal yang baru, dan mencobanya. Masa mereka mulai untuk mandiri menapaki jalan hidupnya sendiri. Masa seorang anak mulai melakukan sesuatu yang mirip dengan apa yang dapat dilakukan oleh ayahnya. George Bernard Shaw mengatakan bahwa “Masa muda adalah masa terindah; sayang sekali orang muda suka menyia-nyiakannya.” 

Ayah adalah pengantar anak-anaknya untuk menghadapi masa muda dengan hal-hal yang dapat mendatangkan manfaat. Prinsip berbagi manfaat yang diajarkan Al-Quran kepada kita adalah, kebaikan yang dilakukan kepada orang lain, pada akhirnya akan kembali kepada pelakunya sendiri. Kitalah yang akan lebih banyak menerima manfaat daripada orang yang menerima pertolongan kita. Allah SWT berfirman di surat Al-Isra’ ayat ke-7. “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri,”(QS. Al-Isra’[17]:7)

Karya monumental terbesar dari seorang ayah dalam hidupnya adalah ketika ia mampu membentuk anak-anak yang kuat dan soleh yang bermanfaat bagi ummat ini. Mereka menjadi muslim yang kuat dan kokoh, menjadi duta masyarakatnya dengan ilmu yang dimilikinya.

Dari sahabat Abu Hurairah RA, bersabda Rasulullah SAW, “Mu’min yang kuat lebih dicintai Allah dari mu’min yang lemah, dan masing-masing memiliki kebaikan. Bersemangat lah terhadap hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah dan jangan merasa malas, dan apabila engkau ditimpa sesuatu maka katakanlah “Qodarulloh wa maa syaa’a fa’al, Telah ditakdirkan oleh Allah dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi”(HR. Muslim)

Allah SWT berfirman di surat An-Nisa yang ditujukan kepada orang tua, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.(QS. An-Nisa[4]:9)

Dalam tafsirnya Ibnu Katsir mengatakan Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu ‘Abbas RA, ”Ayat ini berkenaan dengan seorang laki-laki yang meninggal, kemudian seseorang mendengar ia memberikan wasiat yang membahayakan ahli warisnya, maka Allah SWT memerintahkan orang yang mendengarkannya untuk bertakwa kepada Allah serta membimbing dan mengarahkannya kepada kebenaran.”

Keberhasilan masa depan anak bukan karena umur atau kemampuan terbatas yang dimilikinya. Ayahnya harus mampu mengayunkan kuas di atas kain kanvas. Kecantikan lukisan dibentuk dari beberapa ayunan kuas yang banyak, mereka se irama dan saling mengisi. Perpaduan warna yang indah disertai gradasi warna yang anggun membentuk pelangi di langit. Warna biru dan putih membentuk warna air di laut lepas. Warna hijau membentuk suasana pepohonan yang berjajar terlihat anggun. Semua goresan kuas sang ayah membentuk semua warna kehidupan si anak. Menari-nari mengikuti irama kehidupan.

Semua orang termasuk seorang ayah kepada anaknya, terkadang tidak mengira bahwa dengan bakat yang dianggap kecil, dapat merubah semua jalan hidupnya.  Akan tetapi ketika lukisan sang ayah berhasil diselesaikan nya dengan baik, maka seorang ayah dan anak akan menemukan bakat anak yang dimilikinya. Bukan saja bakat! bahkan kesuksesan hidup anaknya. InsyaAllah.

Mengantarkan anak menemukan kesuksesan dirinya adalah tugas mulia seorang ayah. Memunculkan kesuksesan pada diri anak adalah suatu proses yang terkadang tidak pendek. Tidak mustahil akan ditemukannya pada saat anak sudah berumur dan ayah menjelang umur kematian. Proses penemuan ini memerlukan ketekunan dan kekuatan kesabaran dari orang tuanya, khususnya adalah ayahnya. Karena itu dalam melukis masa depan anak, bagi seorang ayah ada tiga bekalan yang tidak boleh ditinggalkannya, yaitu sabar, sabar dan sabar. Kesabaran itu terkadang pahit, akan tetapi manis buahnya. Kesabaran  seperti yang dimiliki oleh Nabiullah Ya’kub AS ketika menghadapi kejahatan kakaknya Yusuf AS dan hilangnya anak tercinta, Yusuf AS.

Kesabaran Ya’kub AS ini diabadikan oleh Allah SWT di dalam Al-Quran surat Yusuf ayat 18. “Mereka datang membawa baju gamis nya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya’qub berkata: ‘Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang di mohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan’”. (QS. Yusuf[12]:18)

Pengetahuan akan kebenaran dari seorang nabi tidak menjadikan Ya’kub AS menghardik anak-anaknya. Ya’kub AS tahu bahwa walaupun ia mengatakan bahwa anak-anaknya semua adalah pembohong dan sesungguhnya telah membuang Yusuf AS, tetap saja anak-anaknya tidak akan mengakuinya. Pengetahuan kenabian yang tidak diketahui oleh anak-anaknya, tidak menyebabkan Ya’kub AS membela pendapatnya, “Pokoknya kamu salah, dan aku tahu aku yang paling benar.” 

Akan tetapi Nabiullah Ya’kub AS justru menguatkan kesabaran dengan mengucapkan, “maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku).” Subhanallah. Seorang tipe ayah yang tetap dengan kebenaran dan kesabaran walaupun sulit menunjukkannya langsung kepada anak-anaknya. Akan tetapi semua ini akan dijawab oleh Allah SWT yang mengetahui dan mengatur segala sesuatu yang terjadi di jagad raya ini.
sumber:.dakwatuna.com

MENELADANI KESABARAN SITI HAJAR

Siti Hajar, istri nabi Ibrahim As adalah lambang wanita sejati yang taat kepada suami dan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Segala kesulitan, kepahitan, keresahan yang ditempuh Siti Hajar bersama anak kecilnya, Nabi Ismail Alaihi Salam di tengah-tengah padang pasir , adalah lambang kesetiaan dan kepatuhan seorang isteri kepada amanah suaminya. Sungguh Ketaatan ibunda Hajar kepada Allah dan suami  memberi ispirasi bagi umat manusia di kemudian hari hingga di abadikan Allah swt sebagai salah satu ritual ibadah Haji yaitu Sa’i berlari-lari kecil antara bukit Safa dan Marwa

It’ibar kisah dari Al-Quran yang menggambarkan seorang isteri,yang ditunjukkan oleh Siti Hajar, yang sanggup menempuh berbagai kesulitan hidup semata-mata karena taat akan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan suaminya Nabi Ibrahim Alaihi Salam, suatu teladan bagi muslimah sejati.

Mari kita simak  sebagian kisah pengorbanan Siti Hajar.
Di tengah-tengah terik panas di padang pasir yang kering kerontang, Nabi Ibrahim Alaihi Salam , menunggang unta bersama Siti Hajar, menempuh perjalanan jauh datang ke suatu daerah yang sekarang dikenal kota Mekah. Sepanjang perjalanan, dikuatkan hatinya untuk terus bertawakal demi menjalankan perintah Allah. 

Dia yakin, Allah  tidak akan menganiaya hamba-Nya. Pasti ada hikmah di balik perintah itu. Selepas kira-kira enam bulan perjalanan, tibalah mereka di sebuah lembah di tengah-tengah padang pasir. Nabi Ibrahim Alaihi salam turun dari untanya, meninggalkan Siti Hajar dan bayinya di bumi gersang itu.

Nabi Ibrahim Alaihi Salam berkata kepada Siti Hajar, “Nah, kamu harus tinggal di sini.” Nabi Ibrahim Alaihi Salam menyuruh istrinya, Siti Hajar, untuk tinggal di tempat tersebut tanpa dirinya, di daerah yang belum ada penduduknya. Daerah itu hanya berupa padang pasir, gunung batu, tidak ada tumbuh-tumbuhan, tidak ada sumur, juga tidak ada sungai.

Walaupun dalam keadaan seperti itu, Siti Hajar menerima perintah suaminya karena ia yakin bahwa perintah itu benar dan merupakan perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala . Sebagaimana yang ia katakan, “Allahu amaroka bi hadza ?” (Apakah Allah yang memerintah kepadamu agar saya tinggal di sini ?) Nabi Ibrahim menjawab, “Na’am.” (Iya.) Kemudian Siti Hajar berkata lagi, “Idzan la yudlayyi’uni.” (Jadi kalau begitu, Allah tidak akan membiarkanku.)

Ini merupakan gambaran seorang istri yang taat kepada suaminya. Ditinggalkan dakwah oleh suaminya. Ditinggalkan sendiri dan bukan satu atau dua hari karena perjalanan Nabi Ibrahim Alaihi Salam dari Mekah ke Syam sangat jauh dan belum ada pesawat udara. Hal itu bisa menjadi bahan renungan bagi kita, terutama tentang keadaan Siti Hajar. Bagaimana ia mendapatkan makanan, minuman, pakaian untuk melanjutkan hidupnya? Bahkan, tidak ada tempat tinggal dan tidak ada siapa-siapa. Namun, itu semua diterimanya dengan sabar, ikhtiar, dan tawakal karena sebagai wujud ketaatan terhadap suami yang hakikatnya ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala .

Selanjutnya, selang beberapa waktu, persediaan air sudah habis, sedangkan anak yang masih kecil kehausan. Akhirnya ia mencari air di sekitar tempat itu, tetapi tidak ia dapatkan. Ia berkeliling dan pulang pergi dengan lari-lari kecil antara bukit Safa dan Marwa, tetapi tetap tidak mendapati air karena memang tidak ada sumber air.

Di luar dugaan, ketika Nabi Ismail kecil menggerak-gerakkan kakinya karena ingin minum, keluar air yang melimpah dari bawah padang pasir dan dengan suara yang bergemuruh. Mendengar dan melihat air tersebut, kemudian Siti Hajar mengisikan air tersebut ke dalam kirbat, sambil berkata, “Zumi-zumi !” (Berkumpullah !) Selanjutnya, tempat keluar air tersebut dinamakan sumur zam-zam dan airnya dinamakan air zam-zam.

Peristiwa Siti Hajar mencari air merupakan jejak sejarah yang dibicarakan berulang-ulang setiap tahun. Jejak peristiwa tersebut merupakan salah satu rukun dalam ibadah haji, yaitu sai. Sai, selain ibadah yang merupakan napak tilas dari peristiwa Siti Hajar tersebut, juga mengandung ibrah (pelajaran) dan bahan renungan mengenai pengorbanan, perjuangan, dan kesabaran seorang istri sekaligus seorang ibu yang ditinggalkan suaminya di tempat yang “seram”, hanya tinggal berdua dengan Ismail yang masih kecil. 

Kesabaran yang didasari keimanan menjadikan Siti Hajar berada dalam derajat yang tinggi, khususnya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala .

Demikianlah selintas napak tilas peristiwa Siti Hajar tersebut yang berkaitan dengan kesabaran. Adapun mengenai kesabaran, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan kata sabar di sembilan puluh tempat dalam Al-Quran, juga ditambah dengan keterangan tentang berbagai kebaikan dan derajat yang tinggi buah dari kesabaran.

Allah Subhanahu wa Ta’ala .berfirman, “Dan sesungguhnya, Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl : 96).

“Sesungguhnya, hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar : 10)
Tidak ada suatu amal yang dekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,melainkan pahalanya diukur dan ditimbang dari kesabaran. Allah telah memberikan janji kepada orang yang sabar, yaitu akan diberi petunjuk dan karunia-Nya. Berkaitan dengan hal itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb-nya dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah : 157)
Ayat-ayat yang senada dengan ini banyak sekali, demikian pula di dalam hadist. Di antara hadist tersebut, yaitu yang artinya, “Tidaklah seseorang diberi karunia yang lebih baik dan lebih luas, selain dari kesabaran.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kesabaran merupakan spesifikasi yang dimiliki manusia. Kesabaran tidak digambarkan pada binatang dengan berbagai kekurangan dan dominasi nafsunya. Kesabaran juga tidak digambarkan pada malaikat karena malaikat diberi sifat ketaatan atas perintah Allah dan tanpa diberi nafsu untuk pembangkangan.

Adapun ciri sabar dapat dilihat dari sikap seseorang ketika awal terjadinya suatu musibah, masalah, atau cobaan lainnya. Hal itu didasarkan yaitu :
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda yang artinya,
“Sabar itu hanya pada goncangan yang pertama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ciri sabar yang lainnya ialah seseorang yang dapat menenangkan anggota tubuh dan lidahnya ketika tertimpa musibah, masalah ataupun cobaan lainnya juga. Sebagian orang bijak berkata,
“Hai yang terguncang, engkau tidak bisa mengembalikan apa yang sudah lepas dari tangan. Namun, ringankanlah rasa kecewamu.”
 
Mudah-mudahan napak tilas tentang Peristiwa Siti Hajar , bisa menjadi dorongan bagi saudariku muslimah terlebih seorang istri atau siapa saja dalam menerima ketentuan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk bersabar, tetap ikhtiar, dan tawakal. Hal itu terutama dalam keadaan yang serba kekurangan di tengah-tengah derasnya terpaan materealistis yang selalu menggoda untuk mengambil “jalan pintas” dan menghalalkan berbagai cara.
Walhamdulillah Rabbil’alamin

Belajar Mendidik Anak dari Nabi Ibrahim

Ditengah maraknya metode pendidikan anak yang ditawarkan,  hadir spiritual parenting berazaskan pada metode yang di ajarkan Allah dalam Al Qur’an dan contoh dari Rasulullah. Dalam Islam peran ayah dalam mendidik anaknya ternyata sangat dominan sebagaimana di kisahkan    dalam Al Quran. Di antaranta kisah Nabi Ibrahim yang berdialog dengan Ismail anaknya, Kisah Lukman yang memberikan pelajaran dengan cara yang sangat lembut dan penuh kasih sayang pada anaknya dapat di temui dalam Al Quran .

Talkshow “Spiritual Parenting” yang di selenggarakan oleh PP Salimah, Ibu Nurul Hidayati , ketua Umum PP salimah  mengingatkan kita untuk belajar dari Nabi Ibrahim yang mengajak berdialog anaknya Ismail,   untuk membuat keputusan sendiri dalam hidupnya.

Sebagai mana ayat firman Allah : “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata:”Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu.Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab:”Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. QS. 37:102

Dalam ayat ini terjadi  dialog antara nabi Ibrahim dengan Ismail tentang perintah penyembelihan Ismail, dan beliau berdua berhasil melalui ujian yang nyata tersebut dengan amat sabar, dan Allah SWT mengganti Ismail dengan seekor sembelihan yang besar .
Bagaimana kah cara nya Nabi Ibrahim mendidik anak-anak nya hingga memiliki kesabaran dan ketaat yang sempurna pada Tuhannya ?

Jika orang tua suka memaksa kehendak  pada anak dipastikan akan berdampak tidak baik bagi anak. Dialog orang tua dengan anak adalah metode Qur’ani, membiasakan berdialog dengan anak untuk menentukan keputusan akan membuat anak memiliki harga diri, mampu membedakan mana yang baik dan tidak baik bagi dirinya. Pilihlah waktu yang tepat saat berdialog dengan anak, misalnya setelah anak kenyang setelah makan atau menjelang anak tidur, insya Allah anak akan senang diajak berdialog dengan orang tuanya. Namun orangtua janganlah menjadikan dialog sebagai upaya memaksakan kehendak orang tua .

Mari kita kaji di Al Qura’an surat Ibrahim ayat 37-41, bagaimaa Nabi Ibrahim As berperan sebagai pemdidik utama dalam keluarganya. Beliau adalah orang tua yang banyak mendoakan anak-anak dan keluarganya  dan menyandarkan keharapannya hanya pada Allah.

“Ya Tuhan kami, Sesungguhnya Aku Telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, Mudah-mudahan mereka bersyukur. 

Ya Tuhan kami, Sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami lahirkan; dan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi Allah, baik yang ada di bumi maupun yang ada di langit.

Segala puji bagi Allah yang Telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku, benar-benar Maha mendengar (memperkenankan) doa. Ya Tuhanku, jadikanlah Aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku.

Ya Tuhan kami, beri ampunlah Aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)”. [Ibrahim: 37-41]
Doa di atas adalah do`a Nabi Ibrahim, yang darinya kita dapat memetik beberapa hikmah tentang bagaimana Nabi Ibrahim mendidik putranya .

Pertama ; Mencari, membentuk lingkungan yang baik.
Representasi lingkungan yang shalihah bagi Nabi Ibrahim Baitullah [rumah Allah], dan kalau kita adalah masjid [rumah Allah].  Terdapat nilai lebih jika kita bertempat tinggal dekat dengan masjid atau anak-anak kita lebih sering ke masjid, karena memudahkan mereka mencintai masjid. Bila kita kesulitan menemukan masjid, maka hendaknya kita tetap berusaha mencarikan dan membentuk  lingkungan yang baik bagi putra-putri kita.

Kedua ; Mendidik anak agar mendirikan shalat.
Nabi Ibrahim secara khusus berdoa agar anak keturunannya tetap mendirikan shalat.
“Ya Tuhanku, jadikanlah Aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Ya Tuhan kami, perkenankanlah doaku. (QS Ibrahim :40)
Rasulullah saw memberikan arahan tentang keharusan pembelajaran shalat kepada anak,  “Suruhlah anak shalat pada usia 7 tahun, dan pukullah bila tidak shalat pada usia 10 tahun”. Rasulullah saw membolehkan memukul anak di usia 10 tahun kalau dia tidak melakukan shalat dari pertama kali disuruh di usia 7 tahun. Ini artinya ada masa 3 tahun, orang tua untuk mendidik anak-anaknya untuk shalat. Dan waktu yang cukup untuk melakukan pendidikan shalat.

Ketiga ; Mendidik anak agar disenangi banyak orang.
Orang senang bergaul dengan anak kita, seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah saw: “Berinteraksilah dengan manusia dengan akhlaq yang baik.” [HR. Bukhari].

Keempat ;  Mendidik anak agar dapat menjemput rezki yang Allah telah siapkan bagi setiap orang.
Anak dididik untuk memiliki life skill [keterampilan hidup] dan skill to life [keterampilan untuk hidup]

Kelima ;  Mendidik anak dengan mempertebal terus keimanan, hingga merasakan kebersamaan dan pengawasan Allah kepada mereka.

Keenam ; Mendidik anak agar tetap memperhatikan orang-orang yang berjasa—sekalipun sekadar doa—dan peduli terhadap orang-orang yang beriman yang ada di sekitarnya baik yang ada sekarang maupun yang telah mendahuluinya.
 

Ibu Adalah Sebuah Sekolah

Sebait syair Arab yang sangat terkenal ”Al-Ummu madrasatun idza a’dadtaha ‘adadta sya’ban tayyibul ‘araq” maknanya “seorang ibu adalah sebuah sekolah. Jika engkau persiapkan dia dengan baik maka sungguh engkau telah mempersiapkan sebuah generasi yang unggul”.

Seorang ibu memiliki kesempatan dan potensi yang lebih besar untuk berperan secara langsung dalam proses pemberian warna dasar pada anak, yakni peletak dasar/landasan pembentukan kepribadiannya. Sebab ibulah yang paling dekat dengan anak sejak awal pertumbuhannya, sesuai dengan tugas pokoknya. Sedangkan ayah kemungkinan besar lebih banyak di luar rumah karena menjalankan tugasnya mencari nafkah keluarga. Sekalipun demikian, ayah tetap sebagai pemeran utama danbertanggung jawab dalam proses pembentukan kepribadian anak.

Pendidikan Calon Anak Sejak Di Alam Rahim

Seorang ibu mengandung janin (calon anak manusia) dalam rahimnya selama + 9 bulan. Setelah lahir ke dunia ia menyusuinya selama 2 tahun serta mengasuhnya sampai mampu mandiri (+ usia 6-9 tahun), yakni mampu mengurus diri sendiri dan mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam keadaan ini berarti seorang ibu memiliki peluang yang besar untuk berperan dalam proses perkembangan seorang anak (minimal 6-9 tahun). Bahkan pada masa awal kehidupan anak inilah, peran ibu sangat menentukan kondisi perkembangannya.

Seorang ibu bisa memulai proses pendidikan pada anaknya sejak janin (masih dalam kandungan), ketika tidak ada orang lain yang bisa melakukannya. Minimal yang harus dilakukan seorang ibu terhadap janin dalam kandungannya adalah memilihkan makanan yang halal dan baik untuk membesarkan janin. Senantiasa berdzikir dan berdo’a kepada Allah SWT, ketika merasakan setiap gejala yang diakibatkan keberadaan janin dalam kandungan. Tidak mengeluh terhadap rasa sakit yang dialaminya di saat hamil, tetapi sepenuhnya berserah diri kepada Allah dan senantiasa mengharapkan pertolongan Allah agar tetap bisa menunaikan segala kewajiban dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Berupaya menenangkan perasaan/emosionalnya dengan membaca ayat-ayat Al Qur’an, sehingga suasana hatinya tetap tenang dan ikhlas menjalani masa kehamilannya. Sebab kondisi psikologis seorang ibu – menurut pendapat para ahli akan berpengaruh pada perkembangan janin yang dikandungnya.

Demikian pula setelah anak lahir, ibu berperan besar untuk menciptakan kondisi lingkungan tempat anak dibesarkan. Suara apa yang pertama didengarnya ketika pertama kali ia bisa mendengar. Pemandangan seperti apa yang dilihatnya ketika ia pertama kali melihat. Kata-kata apa yang diucapkannya ketika ia pertama kali berbicara. Dan lingkungan pertama yang masuk ke dalam ‘rekaman kaset kosong’ seorang anak adalah rumahnya. Apa-apa yang ada di dalam rumahnya itulah yang pertama direkamnya, terutama yang paling dekat kepadanya adalah ibu. Oleh karena itu ibulah madrasah (sekolah) pertama bagi anak-anaknya.

Ibu Tidak Tergantikan

Pembinaan oleh ibu yang dilakukan sejak dini ini akan memberikan pengaruh yang luar biasa pada anak, yang tidak akan bisa digantikan oleh pihak manapun ataupun diganti dengan nilai materi berapapun.  Bukankah ketika ibu menyusui, ibu mengajarkan rasa aman?  Bukankah ketika ibu menidurkan anak dalam buaian, ibu mengajarkan kasih sayang? Bukankah saat melatih anak berjalan, ibu mengajarkan semangat untuk berjuang,  saat menengahi perselisihan anak, ibu mengajarkan  tentang keadilan?   Ibu pun mengajarkan kejujuran, keterbukaan, empati dan tanggung jawab.  Dan terpenting, ibulah yang pertama kali mengajarkan anak tentang tuhannya, pada siapa dia harus takut, tunduk dan patuh.  

Generasi manakah yang lebih baik dari generasi yang kelak bisa memberikan rasa aman, kasih sayang, keadilan dan punya empati yang tinggi terhadap umatnya? Mereka memiliki kejujuran, tidak tergoda oleh materi, bertanggungjawab dan pantang menyerah dalam perjuangannya.  Mereka adalah  orang yang paling takut tehadap azab Allah bila lalai dari tanggungjawab mereka, Mereka yang menjalankan hukum-hukum Allah tanpa merasa takut pada sesama manusia.  Bukankah generasi seperti ini yang akan mampu membawa umat pada kemashlahatan ?

Tak dapat dipungkiri lagi bahwa peran ibu sangat besar artinya dalam pembentukan generasi di masa datang, mengingat besarnya peluang dan kesempatan seorang ibu tersebut untuk mengawali proses pendidikan anak-anaknya sejak dini. Mereka bisa membentuk warna dan corak generasi umat Islam di masa datang. Seorang ibu yang lemah, bodoh dan berperilaku buruk akan menghasilkan generasi yang warnanya tidak jauh berbeda dengan dirinya. Sebab di masa awal, anak mendapatkan teladan yang buruk untuk membentuk eksistensi dan kepribadian dirinya. 

Anak akan menyerap informasi dan perilaku apapun yang ada didekatnya tanpa bisa memilah-milah mana yang baik dan mana yang buruk. Sebaliknya kalau ‘sang ibu’ itu pintar (menguasai tsaqofah Islam), cerdas, kreatif, berperilaku baik serta berkepribadian Islam yang tinggi, maka warna dasar di masa datang akan baik. Bahkan kalau perannya berjalan optimal, ibu seperti ini akan mampu membentuk generasi yang tangguh, yang tidak terombang-ambing oleh ombak kehidupan. Mereka akan tetap mampu bertahan dan berdiri dengan tegar serta kokoh prinsip hidupnya, apapun kondisi yang menghadangnya.

Dengan demikian agar peran para ibu dalam pendidikan generasi di masa datang bisa optimal untuk menghasilkan generasi para mujahid tangguh, politikus ulung dan para mujtahid, maka proses pembinaan para ibu tidak boleh dicukupkan ala kadarnya apalagi diabaikan. Para ibu harus dibina dengan tsaqofah Islam secara mapan atau mendalam, sehingga dia mampu mengarahkan dan bahkan mendidik anak-anaknya menjadi generasi-generasi yang diharapkan mampu berperan meraih kejayaan Islam kembali.

Pendidikan Untuk Ibu

Bagaimana mungkin seorang ibu mampu mendidik anak-anaknya menjadi mujahid kalau dia tidak memahami betapa mulianya kedudukan seorang mujahid. Mana mungkin seorang ibu mampu menghantarkan seorang anak menjadi ulama sementara dia buta terhadap tsaqofah Islam. Bagaimana mungkin seorang ibu mampu mendidik anaknya menjadi pejuang-pejuang Islam, aset-aset bangsa, generasi yang akan menjadi agen perubahan masyarakatnya yang rusak,  kalau dirinya sendiri masih enggan berkorban untuk Islam.

 Kalau dirinya sendiri hanya memandang anaknya adalah sekedar aset pribadinya yang kelak harus mengembalikan investasi pribadi yang selama ini dia tanam untuk membesarkan anaknya, dan tidak lebih dari itu. Bagaimana mungkin pula seorang ibu yang lebih mengutamakan kemapanan materi dengan mengejar karir sembari mengabaikan tugasnya sebagai ibu  bisa mendidik anaknya untuk meraih kemuliaan di hadapan Allah meskipun dengan mengorbankan dunianya. Mustahil ibu seperti ini akan mampu mencetak generasi harapan umat untuk meraih kebangkitan dan kejayaan Islam kembali. Karena seperti pepatah bilang: “singa hanya terlahir dari singa”; “seorang anak yang hebat juga hanya terlahir dari ibu yang hebat”.
sumber : http://blog.sunan-ampel.ac.id/faizahrosyidah/

Membangun Karakter Anak di Atas Pilar Al-Qur’an

Al Qur’an adalah sebuah Risalah yang di dalamnya berisi Huda  yaitu petunjuk bagi yang mengimaninya, yang menyelamatkan manusia di dunia dan akherat.  Metode  mendidik anak  mengikuti petunjuk Al-Quran adalah cara terbaik yang dapat umat Islam lakukan  sampai akhir jaman.
 
Pimpinan Pusat Persaudaraan Muslimah (PP Salimah) menyelenggarakan talkshow “Mendidik  Karakter Anak di atas Pilar Al-Qur’an “. Talkshow ini merupakan rangkaian acara Festival Al-Qur’an Indonesia yang digelar oleh Asosiasi Penerbit Mushaf Alquran Indonesia (APQI).
Bertempat di Bayt al Qur’an TMII (28/7/11), Ratusan jama’ah majelis ta’lim dari Jakarta dan sekitarnya, serius mendengarkan para pembicara yang merupakan para pengurus PP Salimah yaitu Ustzh. Nurul Hidayati,SSi, MBA, ketua umum. Beliau berbicara tentang belajar dari dialog yang berlangsung antara Nabi Ibrahim dengan anaknya Ismail (QS as Shofat : 99 – 107). 
 
Dari percakapan ayah dengan anak ini, kita bisa mencontoh beberapa hal, diantaranya memanggil dengan panggilan terbaik, musyawarah, mengajarkan anak untuk mengambil keputusan dan mendidik anak agar berpikir kritis.
Ustzh Siti Faizah, alHafidzoh, ketua bidang pengembangan organisasi PP Salimah. Menyampaikan kiat-kiat menghafal al Qur’an. Allah menurunkan Al Qur’an bukan hanya untuk dibaca, melainkan juga sebagai huda, petunjuk bagi manusia. Untuk membiasakan anak berinteraksi dengan Al Qur’an, kita sebagai orang tua harus menyiapkan lingkungan yang mendukung, diantaranya kita juga harus memberi contoh. 
 
 Untuk ibu yang hamil, atau anak-anak, dengan kita sering memperdengarkan Al Qur’an, akan membuat sang anak mudah mempelajari Al Qur’an.
 
Selanjutnya ustzh Hj. Sinta Santi, Lc, ketua bidang pembinaan umat PP Salimah  menyampaikan, masa yang berbeda akan membuat metode mendidik anak atau mengajarkan Al Qur’an kepada anak juga berbeda, walau isi Al Qur’an tidak pernah berbeda. Ajarkan anak-anak sesuai dengan zamannya. Dari QS Luqman, yang memuat pesan Luqman pada anaknya, kita dapat mengambil pelajaran, diantaranya;  Perintah yg merupakan penanaman modal agar anak-anak orang sholeh di manapun kapanpun tidak menyekutukan  Allah. 
 
 Ibadah fisik belum tentu mengarahkan pelakunya kepada Iman.  Karena keimanan terkait juga dengan hati, karena itu jangan sampai ada penyekutuan Allah dalam diri kita. Pelajaran berikutnya adalah mengajarkan akhlaq kepada orangtua, juga agar kita tidak berlaku sombong.
 
Pembicara berikutnya, Ustzh Farida, dewan pakar PP Salimah menyampaikan pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah Maryam. Diantaranya agar kita sebagai perempuan, sebagai ibu dapat menjaga jiwa, menjaga kehormatan diri, dan menjaga dien-agama. Sehingga kita dapat menjadi srikandi-srikandi Al Qur’an. Sebelum sesi tanya jawab, ditampilkan juga pembacaan asmaul husna, dipimpin oleh Ustzh Chamsinah, ustzh Nasiroh dan Ustzh Aminah.
Semoga kita dapat mengamalkan Al-Quran .

Hargailah Anak, maka Dia akan Belajar Menghargai Orang Lain

“Hendaknya kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari)

Penghargaan (reward)  adalah imbalan yang diberikan atas prestasi, pencapaian, atau usaha anak dalam mencapai sesuatu. Misalnya, Anda memberikan hadiah buku setelah anak bisa membaca dengan lancar atau mendapatkan nilai/peringkat akademik tertentu di sekolah.
 
Dalam  pendidikan anak, penghargaan (reward) dinilai punya pengaruh positif  bagi anak, antara lain: Reward akan menumbuhkan motivasi anak untuk berusaha mencapai prestasi. Reward akan  membuat anak merasa dihargai. Harga diri yang positif membuat anak lebih optimistis, tidak pasrah begitu saja jika nilainya jelek misalnya. Reward secara tidak langsung juga dapat menumbuhkan kepercayaan diri. Anak membangun kepercayaan dirinya dari bukti dan pengakuan orang-orang di sekitarnya. Jika anak melihat ternyata dia mampu melakukan sesuatu, dan mendapatkan pengakuan dari orang tuanya, maka kepercayaan dirinya akan tumbuh.

Ada beberapa yang perlu diperhatikan ketika kita memberikan penghargaan (reward) pada anak. Reward semestinya diberikan jika anak berhasil melakukan sesuatu, sesuai dengan standar prestasi/pencapaian tertentu berdasarkan kemampuan dan keadaan anak. Sebaiknya, standar prestasi itu dibuat berdasarkan kesepakatan yang menantang  bukan yang menekan, agar anak tidak stress, nyaman dan senang melakukannya. Reward juga bisa diberikan saat kita punya harapan tertentu terhadap perilaku anak. Walau anak tidak melakukan dengan sempurna, tetapi bisa memenuhi harapan kita, memberikan  reward menjadi langkah yang tepat.

Reward tidak selamanya harus berbentuk materi. Dapat juga berupa pujian, dukungan, ciuman kasih sayang, penghormatan, perlakuan istimewa, dan lain-lain.  Artinya, semua orangtua punya kesempatan yang sama untuk memberikan reward pada anaknya. Hanya memang, secara umum, reward yang berbentuk materi biasanya punya nilai  lebih buat anak. Meski demikian, kalau  terlalu sering memberikan dalam bentuk ini, daya kejutnya bisa berkurang dan berdampak kurang bagus buat anak.

 Jalan tengah yang bisa ditempuh orangtua adalah menyesuaikan  dengan situasi, kondisi anak dan memberikannya secara proporsional. Bentuk reward-nya  sendiri juga mesti disesuaikan dengan usia dan kebutuhan perkembangan anak, agar nilai gunanya tepat dan efektif. Reward yang nilainya terlalu besar sama jeleknya dengan reward yang terlalu kecil. Membelikan HP atau laptop untuk anak yang belum membutuhkan misalnya, bisa salah atau kurang berguna.  Yang paling penting adalah, reward memang sengaja kita rancang untuk memberikan tantangan pada anak agar dia meningkatkan pencapaian, prestasi, atau usahanya untuk menjadi lebih baik.

Memberikan reward pada hakekatnya memberikan sesuatu, agar yang diberi menjadi senang. Terkait dengan hal ini, Islam juga telah memberikan gambaran tentang pentingnaya memberikan hadiah. Disunnahkan untuk memberikan hadiah apabila dalam rangka menyambung silaturrahim, kasih sayang dan rasa cinta. Hadiah merupakan bukti rasa cinta dan bersihnya hati, padanya ada kesan penghormatan dan pemuliaan. 

Memberikan reward pada anak disamping untuk menumbuhkan motivasi, harga diri dan kepercayaan diri pada anak, tentu juga merupakan ekspresi kebahagiaan dan bentuk kasih sayang yang diberikan orang tua, karena anak berhasil melakukan sesuatu.  Rasulullah SAW bersabda:
“Hendaknya kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. Bukhari)
Oleh : Dra. (Psi.) Zulia Ilmawati, sumber http://baitijannati.wordpress.com/

Resep Hidup Mesra Suami-Istri Ala Rasulullah

Rasulullah adalah sosok suami yang paling mesra terhadap istri-istrinya. Berikut beberapa tips untuk menjaga kemesraan yang dikompilasi dari hadis-hadis dan riwayat yang menceritakan Rasulullah SAW.
1. Suami membukakan pintu untuk istrinya, baik di kendaraan, rumah, maupun yang lain
Istilah yang cukup akrab di telinga kita, yang katanya orang-orang modern ini “Ladies First” ternyata sudah dilakukan Rasulullah sejak berabad-abad yang lalu, disaat kebudayaan lain di dunia menganggap wanita lebih rendah, bahkan diragukan statusnya sebagai “manusia”.
Dari Anas, dia berkata: “Kemudian kami pergi menuju Madinah (dari Khaibar). Aku lihat Nabi SAW menyediakan tempat duduk yang empuk dari kain di belakang beliau untuk Shafiyyah. Kemudian beliau duduk di samping untanya sambil menegakkan lutut beliau dan Shafiyyah meletakkan kakinya di atas lutut beliau sehingga dia bisa menaiki unta tersebut.” (HR Bukhari)
2. Mencium istri ketika pergi dan datang
Sungguh hal yang romantis dan bisa menimbulkan rasa kasih sayang jika kita bisa membiasakan mencium istri/suami ketika hendak bepergian atau baru pulang.
Dari ‘Aisyah ra, bahwa NabiSAW biasa mencium istrinya setelah wudhu’, kemudian beliau shalat dan tidak mengulangi  wudhu’nya.”(HR ‘Abdurrazaq)
3. Makan/minum sepiring/segelas berdua
Dari Aisyah RA, ia berkata : Saya dahulu biasa makan his (sejenis bubur) bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam “ (HR. Bukhori dalam Adabul Mufrod)
Dari Aisyah Ra, ia berkata : Aku biasa minum dari gelas yang sama ketika haidh, lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam mengambil gelas tersebut dan meletakkan mulutnya di tempat aku meletakkan mulut, lalu beliau minum (HR Abdurrozaq dan Said bin Manshur, dan riwayat lain yang senada dari Muslim.)
Nabi saw pernah minum di gelas yang digunakan Aisyah. Beliau juga pernah makan daging yang pernah digigit Aisyah.(HR Muslim No. 300)
Bahkan keberkahannya dijamin,
Diriwayatkan Abu Hurairah : “Makanan berdua cukup untuk tiga orang, makanan tiga orang cukup untuk empat orang” ( HR Bukhori (5392) dan Muslim (2058))
4. Suami menyuapi istri
Dari Saad bin Abi Waqosh ra berkata : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : “Dan sesungguhnya jika engkau  memberikan nafkah, maka hal itu adalah sedekah, hingga suapan nasi yang engkau suapkan ke dalam mulut istrimu“ (HR Bukhori (VI/293) dan Muslim (V/71)
5. Berlemah lembut, melayani/menemani istri yang sedang sakit (memanjakan istri sakit)
Diriwayatkan oleh Aisyah ra, nabi SAW adalah orang yang penyayang lagi lembut. Beliau orang yang paling lembut dan banyak menemani istrinya yang sedang mengadu atau sakit. (HR Bukhari No 4750, HR Muslim No 2770)
6. Bersenda gurau dan membangun kemesraan
Aisyah dan Saudah pernah saling melumuri muka dengan makanan. Nabi SAW tertawa melihat mereka. (HR Nasai dengan isnad hasan)
Dari Zaid bin Tsabit berkata tentang Rasulullah : suka bercanda dengan istrinya (HR Bukhari)
7. Menyayangi istri dan melayaninya dengan baik
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah bersabda: Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya, dan orang yang paling baik diantara kalian ialah yang paling baik terhadap istrinya (HR.Tirmidzi, Ibnu Hibban, hadits hasan shahih).
8. Memberi hadiah
Dari Ummu Kaltsum binti Abu Salamah, ia berkata, “Ketika Nabi SAW menikah dengan Ummu Salamah, beliau bersabda kepadanya, Sesungguhnya aku pernah hendak memberi hadiah kepada Raja Najasyi sebuah pakaian berenda dan beberapa botol minyak kasturi, namun aku mengetahui ternyata Raja Najasyi telah meninggal dunia dan aku mengira hadiah itu akan dikembalikan. Jika hadiah itu memang dikembalikan kepadaku, aku akan memberikannya kepadamu.” Ia (Ummu Kultsum) berkata, “Ternyata keadaan Raja Najasyi seperti yang disabdakan Rasulullah SAW, dan hadiah tersebut dikembalikan kepada beliau, lalu beliau memberikan kepada masing-masing istrinya satu botol minyak kasturi, sedang sisa minyak kasturi dan pakaian tersebut beliau berikan kepada Ummu Salamah.” (HR Ahmad)
9. Tetap romantis walau istri sedang haid
Haid, adalah sesuatu yang alamiah bagi wanita. Berbeda dengan pandangan kaum Yahudi, yang menganggap wanita haid adalah najis besar dan tidak boleh didekati.
Ketika Aisyah sedang haid, Nabi SAW pernah membangunkannya, beliau lalu tidur dipangkuannya dan membaca Al Qur’an (HR Bukhari no 7945)
10. Mengajak istri makan di luar
Mungkin kebanyakan kita, lebih suka pergi bersama teman-teman, meninggalkan istri di rumah. Nah yang ini mungkin familiar, saya suka bilang ama istri “nge-date” yuk! ini bisa membangkitkan romantisme berdua. Menikmati lingkungan disekitar.
Anas mengatakan bahwa tetangga Rasulullah SAW -seorang Persia- pintar sekali membuat masakan gulai. Pada suatu hari dia membuatkan masakan gulai yang enak untuk Rasulullah SAW. Lalu dia datang menemui Rasululiah SAW untuk mengundang makan beliau. Beliau bertanya: “Bagaimana dengan ini? (maksudnya Aisyah).” Orang itu menjawab: “Tidak.” Rasulullah SAW berkata: “(Kalau begitu) aku juga tidak mau.” Orang itu kembali mengundang Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bertanya: “Bagaimana dengan ini?” Orang itu menjawab: “Tidak.” Rasulullah kembali berkata: “Kalau begitu, aku juga tidak mau.” Kemudian, orang itu kembali mengundang Rasulullah saw. dan Rasulullah saw. kembali bertanya: “Bagaimana dengan ini?” Pada yang ketiga kalinya ini orang Persia itu mengatakan: “Ya.” Akhirnya mereka bangun dan segera berangkat ke rumah laki-laki itu.” (HR Muslim)
11. Mengajak istri jika hendak ke luar kota.
Biasanya para suami, kalau ada tugas ke luar kota, hal-hal seperti ini dijadikan kesempatan. Tapi tak ada salahnya kalau rejeki kita cukup, kita ajak istri kita pergi juga, tinggal bilang sama bos (syukur-syukur kalau bos mau bayarin hehehe..), kalo saya biasanya biaya sendiri.
Aisyah berkata: “Biasanya Nabi saw. apabila ingin melakukan suatu perjalanan, beliau melakukan undian di antara para istri. Barangsiapa yang keluar nama/nomor undiannya, maka dialah yang ikut pergi bersama Rasulullah saw.’ (HR Bukhari dan Muslim)
12. Menghibur diri bersama istri ke luar rumah (entertainment)
Dari Aisyah, dia berkata: “Pada suatu hari raya orang-orang berkulit hitam mempertontonkan permainan perisai dan lembing. Aku tidak ingat apakah aku yang meminta atau Nabi saw. sendiri yang berkata padaku: ‘Apakah aku ingin melihatnya?’Aku jawab: ‘Ya.’ Lalu beliau menyuruhku berdiri di belakangnya. Pipiku menempel ke pipi beliau. Beliau berkata: ‘Teruskan main kalian, wahai Bani Arfidah (julukan orang-orang Habsyah)!’ Hingga ketika aku sudah merasa bosan beliau bertanya: ‘Apakah kamu sudah puas?’Aku jawab: ‘Ya.’ Beliau berkata: ‘Kalau begitu, pergilah!’” (HR Bukhari dan Muslim)
13. Mencium istri sering-sering
Mencium istri dengan penuh kasih sayang, sangatlah mulia dan romantis. Berbeda dengan ciuman yang dilakukan karena nafsu seperti di film-film yang kebanyakan ada di layar kaca.
Nabi saw sering mencium Aisyah dan itu tidak membatalkan puasa (HR Nasai dalam Sunan Kubra II/204)
14. Suami mengantar istri
Kadang banyak dari kita malas mengantar istri kita bepergian. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika istri saya keluar rumah sendirian, ada masalah di jalan dia kebingungan.
Shafiyyah, istri Nabi SAW, menceritakan bahwa dia datang mengunjungi Rasulullah saw. ketika beliau sedang melakukan i’tikaf pada hari sepuluh yang terakhir dari bulan Ramadhan. Dia berbicara dekat beliau beberapa saat, kemudian berdiri untuk kembali. Nabi saw. juga ikut berdiri untuk mengantarkannya.” (Dalam satu riwayat492 dikatakan: “Nabi SAW berada di masjid. Di samping beliau ada para istri beliau. Kemudian mereka pergi (pulang). Lantas Nabi saw. berkata kepada Shafiyyah binti Huyay: ‘Jangan terburu-buru, agar aku dapat pulang bersamamu’”) (HR Bukhari dan Muslim)
15. Suami istri berjalan dimalam hari
Duh, so sweet.. Jalan berdua menikmati keindahan alam.
Rasulullah datang pada malam hari, kemudian mengajak aisyah berjalan-jalan dan berbincang-bincang (HR Muslim 2445)
16. Panggilan khusus pada istri
Kadang kita memanggil istri kita, honey, yayank, dan seterusnya, dan seterusnya.. seperti itu pun Rasulullah.
Nabi saw memanggil Aisyah dengan Humairah artinya yang kemerah-merahan pipinya. Rasulullah juga suka memanggil aisyah dg sebutan “aisy/aisyi”, dalam culture arab pemenggalan huruf terakhir menunjukan “panggilan manja/tanda sayang”
17. Memberi sesuatu yang menyenangkan istri
Dari Said bin Yazid, bahwa ada seorang wanita datang menemui Nabi, kemudian Nabi bertanya kepada ‘Aisyah: “Wahai ‘Aisyah, apakah engkau kenal dia?” ‘Aisyah menjawab: “Tidak, wahai Nabi Allah.” Lalu, Nabi bersabda: “Dia itu Qaynah dari Bani Fulan, apakah kamu mau ia bernyanyi untukmu?”, maka bernyanyilah qaynah itu untuk ‘Aisyah. (HR. An Nasa’i, kitab Asyratun Nisa’, no. 74)
18. Memperhatikan perasaan istri
“Sesungguhnya ketika seorang suami memperhatikan istrinya dan begitu pula dengan istrinya, maka Allah memperhatikan mereka dengan penuh rahmat, manakala suaminya merengkuh telapak tangan istrinya dengan mesra, berguguranlah dosa-dosa suami istri itu dari sela jemarinya” (Diriwayatkan Maisarah bin Ali dari Ar- Rafi’ dari Abu Sa’id Alkhudzri r.a)
19. Segera menemui istri jika tergoda.
Dari Jabir, sesungguhnya Nabi saw pernah melihat wanita, lalu beliau masuk ke tempat Zainab, lalu beliau tumpahkan keinginan beliau kepadanya, lalu keluar dan bersabda, “Wanita, kalau menghadap, ia menghadap dalam rupa setan. Bila seseorang di antara kamu melihat seorang wanita yang menarik, hendaklah ia datangi istrinya, karena pada diri istrinya ada hal yang sama dengan yang ada pada wanita itu.” (HR Tirmidzi)
20. Berpelukan saat tidur
Tidak saya deskripsikan, soalnya ada yang belum merid lho? (HR Tirmidzi 132)
21. Membantu pekerjaan rumah tangga
Hal inilah yang kadang-kadang masih males. Tapi jika dikerjakan berdua, biasanya jadi tidak berasa, sambil becanda ataupun ngobrol-ngobrol.
Aisyah pernah ditanya: “Apa yang dilakukan Nabi saw. di rumahnya?” Aisyah menjawab: “Beliau ikut membantu melaksanakan pekerjaan keluarganya.” (HR Bukhari)
22. Mengistimewakan istri
Dari Anas, dia berkata: “Kemudian kami pergi menuju Madinah (dari Khaibar). Aku lihat Nabi SAW menyediakan tempat duduk yang empuk dari kain di belakang beliau untuk Shafiyyah.” (HR Bukhari)
23. Mendinginkan kemarahan istri dengan mesra
Nabi saw biasa memijit hidung ‘Aisyah jika ia marah dan beliau berkata, Wahai ‘Aisy, bacalah do’a: ‘Wahai Tuhanku, Tuhan Muhammad, ampunilah dosa-dosaku, hilangkanlah kekerasan hatiku, dan lindungilah diriku dari fitnah yang menyesatkan.” (HR. Ibnu Sunni)
24. Tiduran di pangkuan istri
Dari ‘Aisyah ra, ia berkata, “Nabi SAW biasa meletakkan kepalanya di pangkuanku walaupun aku sedang haidh, kemudian beliau membaca al-Qur’an.” (HR ‘Abdurrazaq)
25. Mandi romantis bersama pasangan
Aisyah pernah mandi satu bejana bersama Nabi saw (HR Nasai I/202)
26. Disisir istri
Dari ‘Aisyah ra, ia berkata, “Saya biasa menyisir rambut Rasulullah saw,saat itu saya sedang haidh”.(HR Ahmad)
27. Minum bergantian pada tempat yang sama
Dari ‘Aisyah ra, dia berkata, “Saya biasa minum dari muk yang sama ketika haidh, lalu Nabi mengambil muk tersebut dan meletakkan mulutnya di tempat saya meletakkan mulut saya, lalu beliau minum, kemudian saya mengambil muk, lalusaya menghirup isinya, kemudian beliau mengambilnya dari saya, lalu beliau meletakkan mulutnya pada tempat saya meletakkan mulut saya, lalu beliau pun menghirupnya.” (HR ‘Abdurrazaq dan Sa’id bin Manshur)
28. Membelai istri
“Adalah Rasulullah saw tidaklah setiap hari melainkan beliau mesti mengelilingi kami semua (istrinya) seorang demi seorang. Beliau menghampiridan membelai kami dengan tidak mencampuri hingga beliau singgah ke tempat istri yang beliau giliri waktunya, lalu beliau bermalam di tempatnya.” (HR Ahmad)
Dan masih banyak tips lain yang bisa dilakukan sesuai kreatifitas Anda semua.
Nabi saw bersabda, “Yang terbaik di antana kalian adalah yang terbaik terhadap keluarga/istrinya. Dan saya adalah orang yang paling baik terhadap istri/keluargaku” (HR Tirmidzi).
Semoga bermanfaat. Semoga menjadi keluarga yg sakinah, mawadah, wa rohmah selalu. Amin..